Pilihan Mana yang Terbaik ?

324 38 3
                                    

Dafa meletakkan sebuket bunga Lily dipusaran wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Wanita yang membesarkannya hingga usia enam belas tahun. Wanita yang kini telah berbaring tenang di pangkuan sang Pencipta kehidupan.

Dafa meneteskan air matanya sambil mengusap nisan orang yang sangat di cintainya. Malaikat yang dipanggilnya Ibu. Dadanya sesak mengingat semua kenangan bersama wanita yang kini tidak lagi dalam satu dunia dengannya. Ia menangis meluapkan semua kesedihannya, meluapkan seluruh emosi yang bersarang di tubuhnya, mencoba menepiskan segala rasa sakitnya berharap akan hilang walau hanya sesaat.

"Bun. Bunda apa kabar?" Isaknya pelan. "Dafa kangen sama Bunda. Bunda lihat Dafa kan diatas sana? Jangan ikut sedih Bun," ucapnya lagi.

"Vanya sekarang tinggal sama Dafa dan Ayah Bun. Hari ini dia daftar sekolah lagi. Di hari pertama dia sekolah di Jakarta, Dafa malah enggak bisa nemenin dia. Dafa lagi marahan sama Ayah dan Eyang Bun. Sebenarnya Dafa ngerasa bersalah sama mereka, tapi Dafa juga marah. Dafa marah lihat mereka yang enggak bisa hargai keputusan Dafa. Dafa sehat-sehat aja Bun. Dafa kuat," ucapnya sambil terisak. Peduli setan jika ada yang melihantnya menangis seperti ini. Yang ia inginkan hanya berbagi cerita dengan Bundanya.

"Bun. Dafa harus gimana? Dafa enggak mau ninggalin Raina sendiri disini. Bunda tau kan, gimana manjanya Raina. Dafa enggak bisa liat dia ngelakuin semuanya sendiri. Tapi, Dafa juga enggak mau dia sampai tau penyakit Dafa ini. Selama ini Dafa mati-matian nyembunyiin semuanya dari Raina. Dafa takut Bun. Dafa takut Raina sedih. Hiks .. Hiks ..Apa Dafa harus nurutin kemauannya Ayah sama Eyang Bun? Apa ini pilihan yang terbaik buat kami? Apa harus Dafa membohongi Raina lagi. Raina itu peka Bun, dia tahu kalau Dafa enggak jujur sama dia, tapi dia tetap diam dan tidak berkomentar. Ini yang buat Dafa semakin sakit."

Dafa terus menangis dipusaran Bundanya. Bahkan ia telah memeluk erat batu nisan Bundanya sambil menceritakan semuanya. Seakan-akan nisan tersebut mengerti apa yang diucapkannya. Mengerti semua penderitaannya. Ia boleh terlihat kuat di depan siapa pun tapi tidak dengan di depan Bundanya. Selama ini, ketika ia dirundung kesedihan. Raina dan Bundanyalah yang menjadi tempat terbaiknya untuk bersandar. Bahkan, hingga Bundanya tiada pun kebiasaan itu tidak lepas dari dirinya. Ia masih setia bercerita pada pusaran Bundanya. Ia yakin, di atas sana Bundanya akan mendengar segala keluh kesahnya. Mengusapnya dengan hembusan angin dan memeluknya dalam kenangan yang telah mereka lewati selama ini.

***

Raina menuruni tangga sambil sesekali mengumpat kesal karena Dafa yang belum menghubunginya sedari tadi. Ia melangkah kearah dapur untuk mengambil minum. Namun, langkahnya terhenti melihat seseorang yang duduk membelakanginya sambil menonton TV dengan Bian.

Dafa sedang asyik menonton TV dengan Bian dirumah Raina. Ia memang sengaja datang tanpa mengabari Raina terlebih dahulu. Dafa sedikit melirik kearah Bian yang menyenggol lengannya sambil mengedipkan matanya kearah belakang tubuhnya. Ia menoleh dan mendapati Raina yang menatapnya.

"Hai Rain," sapanya sambil nyengir lebar.

Raina mengerjap-ngerjapkan matanya kaget saat melihat seseorang yang dilihatnya tadi adalah Dafa. "L .. loe ngapain disini?" Tanya Raina kaget.

"Ya ngapelin loe lah Rain. Masa Bian yang gue apelin,kan aneh," kekeh Dafa. Bian yang mendengar sontak menatap Dafa dengan tatapan yang berkata "Najis loe Bang."

"Dafaaaaa," rengek Raina manja. Ia menghampiri Dafa dan duduk disampingnya. Ia bergelayut manja pada lengan Dafa. "Kemana aja sih? Dari tadi gue nungguin telvon dari loe."

Dafa mengecup mesra pucuk kepala Raina. "Gue mau bikin surprise buat loe. Kaget enggak?"

"Kaget lah. Loe berhasil." Raina mengacungkan kedua jempolnya kearah Dafa lalu menyandarkan kepalanya pada dada Dafa.

A Secret and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang