Chapter 08. Blaise's Engagement

1.9K 192 15
                                    

08 September 2005

Sejak pertama kali Draco melihat putranya dari jarak yang dekat, keinginan untuk melihat lagi meluap-luap membuat dadanya sesak. Sejak Draco melihat Alexander di pekarangan rumah keluarga Nott. Draco memikirkan seribu cara untuk bisa melihat anaknya lagi dari dekat.
Dia tidak mungkin bisa melihat anaknya dengan bertamu langsung ke rumah Theo, selain dia belum memutuskan apa yang akan dia lakukan untuk Alexander. Sejauh ini, keinginannya adalah sederhana, bertemu dengan Alexander. Draco berpikir keras bagaimana caranya? Dan ide itu tiba-tiba muncul.

Dengan senyum merekah, Draco memberikan mantra dilusi pada dirinya. Diam-diam dia memasuki St Mungo, dan segera memacu langkahnya ke kafetaria. Ide itu muncul tiba-tiba mengingat kembali dia pernah melihat Theo dan keluarga kecilnya di kafetaria St Mungo. Dan dia mengucap meminta keberuntungan agar dia bisa melihat putranya lagi di sana.

Ini sudah hari ketiga dia melakukan hal itu. Namun sayangnya belum sekalipun dia menemukan keluarga itu lagi di St Mungo. Tapi tampaknya keberuntungan itu dating hari ini, karena dia melihat dua anak kecil dan seorang perempuan setengah baya yang dia lihat juga di pekarangan rumah keluarga Nott.

Draco berdiri di seberang tempat anaknya duduk memperhatikan dengan takjub. Bagaimana rambutnya yang coklat keemasan jatuh hampir menutupi matanya. Alexander sedang mengambar di kertas dengan, Draco yakin, alas lukis muggle. Mengerling sebentar pada Louise di atas pangkuan si pengasuh, Draco bisa melihat betapa anak-anak Hermione dirawat dengan baik.

Kembali memperhatikan Alexander yang sedang mengambar, Draco memperhatikan hidungnya, mulutnya yang memberikan senyuman, juga cara Alexander memutar bola mata saat berpikir. Draco memperhatikan dengan seksama. Alexander menggunakan t-shirt muggle dan celana pendek di atas lutut dan sepatu –yang pastinya bukan yang sering di pakai penyihir- dan koas kaki bermotif. Tapi kemudian dia pikir, itu cukup keren, terutama t-shirt yang dikenakan berwarna biru tua, yang menonjolkan kulitnya yang pucat dan tulisan pada t-shirt itu 'kick me' membuatnya ingin tertawa.

Tidak berapa lama kemudian Hermione mendatangi meja mereka, Draco semakin waspada untuk tidak bergerak berlebihan, jangan sampai dia ketahuan. Hermione mencium dahi Alexander yang tidak menengadah dari kertas gambarnya dan kemudian menyapa si pengasuh dan mengambil Louise.

"Jadi bagaimana dengan sekolahmu?" Tanya Hermione pada Alexander sambil mengusap rambutnya. 'sekolah? Alexander sekolah?' pikir Draco.

"Nice," kata Alexander.

"Hanya, Nice?"

Hidung Alexander mengerut seraya berpikir, Draco tersenyum melihatnya karena itu adalah kebiasaan yang sama dengannya. "That's nice mummy, not special," kata Alexander mengadu.

Draco merasa meluap-luapnya, anaknya sungguh lucu.

Hermione menghela nafas. "Jadi apa yang kau pelajari?" Tanya lagi.

"Mummy, mereka bahkan banyak yang belum bisa membaca. Membosankan hanya duduk disana, jadi aku mengambar," Jawab Alexander.

"Baiklah, jadi apa yang kau gambar?" Tanya Hermione.

"Aku, Louise, mummy dan daddy," kata Alexander. Draco mengeratkan tangannya menahan kesal mendengar Alexander memanggil Daddy, karena dia tau bukan dial ah yang dimaksud.

"Oh ya? Ini gambarnya? Belum selesai?" Tanya Hermione memperhatikan kertas yang sedang digambar Alexander.

Alexander mengeleng, Draco memperhatikan gambar itu, ada empat orang, seorang wanita dua anak kecil dan seorang pria dewasa berambut hitam. Perasaan ingin segera merobek kertas itu terasa amat besar sekarang.

"Aku akan menyerahkannya pada ibu guru untuk di ikutkan dalam lomba minggu depan," kata Alexander. "Jadi harus bagus mummy," kata Alexander, sekali lagi Draco merasa bangga, anaknya mewarisi darah seni dari dirinya. Lukisan Alexander sangat bagus untuk ukuran anak lima tahun.

LOVE and PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang