"Maaf, saya kira teman saya!"Arlena tertunduk malu karena salah mengenali orang. Ia berkali-kali meminta maaf pada pasangan yang kini menatapnya dengan aneh itu. Ia bahkan tidak menyadari kedua sahabatnya yang berhasil menyusulnya dan kini ada di dekatnya.
"Siapa, Len? Teman kamu?" tanya Sofi setelah pasangan yang Arlena datangi tadi sudah pergi.
"Bukan. Tadinya gue kira yang cowok itu gue kenal, makanya gue niat nyapa. Eh, ternyata salah orang!" jawab Arlena tengsin.
"Yaudah, kita pulang aja yuk? Udah sore. Aku belum ngerjain tugas seni yang dikumpulkan besok!" ajak Reina.
"Lo kebiasaan sih. Ada tugas bukannya langsung dikerjain malah ditunda-tunda."
"Ah bawel kamu, Len. Kayak Mak-Mak!" ledek Reina.
"Sialan!"
Mereka bertiga beranjak pulang karena hari semakin sore. Di perjalanan, Sofi tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya sesuatu yang sejak lama ia pendam.
"Len? Emangnya kenapa sih kamu nggak terima cinta Bayu aja?" tanya Sofi penasaran.
"Kok lo tanya gitu?" tanya Arlena balik.
"Yaa aku heran aja sama kamu. Emangnya apa yang kurang dari Bayu di mata kamu, Len?" kata Sofi dengan ekspresi bingung.
"Iya, Len. Aku juga penasaran. Dari semua cewek di sekolah kita, kamu termasuk cewek yang kebal sama pesona Bayu. Padahal dia itu most wanted di sekolah kita loh!" sahut Reina menimpali perkataan Sofi.
"Atau jangan-jangan—"
"Jangan-jangan apa?" potong Arlena. "Kenapa kalian ngeliat gue kayak gitu? Gue masih normal tahu!"
"Terus kenapa dong?" tanya Sofi.
"Ya karena gue nggak punya perasaan apa-apa sama dia. Gue cuma nyaman sebagai teman aja sama Bayu," jawab Arlena sambil lalu. "Ya emang sih Bayu tuh ganteng, keren, pinter, baik, tajir, yaaa paket lengkap lah, tapi tetep aja perasaan gue nggak klik sama dia. Because I guess he is not my Mr. Right."
"Emangnya gimana caranya kamu tahu kalau kamu sudah bertemu si Mr. Right kamu itu?" tanya Sofi.
"Setiap orang dilahirkan berpasang-pasangan kan? Kita pasti tahu saat kita dipertemukan sama jodoh kita. Entah bagaimana caranya atau prosesnya, tapi gue percaya, saat
itu tiba gue pasti merasakannya. Gue cuma. . . tahu aja!" jawab Arlena sambil mengangkat bahunya."Kata-kata kamu terlalu tinggi, Len!" sindir Reina menanggapi Arlena dengan bercanda.
"Hah! Liat aja. Kalau nanti lo jatuh cinta, gue jadi orang pertama yang akan ingetin lo sama 'kata-kata gue yang terlalu tinggi ini!'"
***
"Erlangga?"
Arlena melongokkan kepalanya masuk ke dalam kamar Erlangga dari pintu yang sedikit terbuka. Arlena membuka pintu lebar-lebar dan langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Erlangga tanpa permisi.
"Er, kamu dimana?" tanya Arlena setengah berteriak.
"Aku di sini!"
Samar-samar Arlena mendengar suara Erlangga dari luar kamarnya. Ia mendekati jendela kamar Erlangga yang terbuka dan melihatnya sedang duduk di teras kecil yang memang ada di luar kamar Erlangga. Teras itu tidak luas, tapi Erlangga sering menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di teras itu.
"Kamu ngapain malem-malem duduk sendirian di situ?"
"Lagi nyari wangsit," jawab Erlangga asal.
"Aku serius, Er. Ngapain kamu duduk di situ? Kamu nggak lagi ada niat bunuh diri kan?" tanya Arlena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Teen FictionPosesif. Overprotektive. Dua kata itu mampu mendeskripsikan seorang Erlangga di mata Arlena. Membuntuti kemanapun Arlena pergi seolah menjadi kebiasaan bagi Erlangga. Dua kembar ini selalu terlihat bersama. Dimana ada Arlena, di situ pasti ada Erlan...