Menginjak bulan ketiga Arlena tinggal bersama Rudi. Ia mulai terbiasa dengan makian dan juga celaan Rudi. Tapi ia telah belajar untuk mengabaikannya. Sepulang sekolah dihabiskan Arlena untuk bekerja paruh waktu di kedai kopi dekat sekolahnya. Upahnya ia gunakan untuk menabung dan keperluannya sehari-hari.
"Heh, Anak Si*lan. Mana duit buat gue?" tanya Rudi.
"Nggak ada. Aku belum gajian."
"Gue nggak peduli lo udah gajian atau belum. Yang penting mana uang buat gue? Lo pasti nyembunyiin uang lo kan?" tuduh Rudi.
Arlena mulai berjalan meninggalkan Rudi menuju dapur untuk mencuci. Merasa kesal diabaikan, Rudi menarik rambut Arlena dan mencengkeramnya kuat-kuat.
"Mulai berani ya sekarang lo nggak dengerin gue."
"Lepas, Om. Aku lagi nggak ada uang," ucap Arlena kesakitan.
"Jangan bohong lo! Gue tau lo lagi banyak duit! " bentak Rudi.
"Aku nggak bohong, Om."
"Kemarin lo baru gajian kenapa sekarang udah nggak punya duit?" tanya Rudi.
"Uangnya kemarin udah aku kasih ke Tante Sinta buat bayar kontrakan," jawab Arlena.
"Apa? Jadi uang jatah gue lo kasih semua ke Sinta?" ucap Rudi geram.
Rudi menarik rambut Arlena dan menampar Arlena. Ia berteriak memanggil nama Sinta dan menyapu semua barang di atas meja hingga jatuh berantakan.
Arlena tidak mau melihat pertengkaran antara pasangan itu dan lebih memilih pergi ke bagian belakang rumah untuk mencuci sekaligus memasak makan malam. Dari dapur Arlena bisa mendengar lontaran makian keluar dari mulut Rudi. Arlena berusaha menulikan pendengarannya. Selesai mengerjakan semua tugas rumah tangga, Arlena pergi ke belakang rumah dan duduk diam di dekat pintu dapur.
Pertengkaran masih terdengar samar-samar, Arlena berusaha mengabaikan apa yang ia dengar. Arlena tidak bisa membayangkan bagaimana Vira dulu menghadapi Rudi dan segala kebiasaan buruknya. Jika Arlena yang berada di posisi Vira ataupun Sinta, mungkin Arlena tidak akan tahan dengan perlakuan Rudi. Ia akan lebih memilih untuk kabur dari rumah dan berpisah dari Rudi. Arlena bersyukur mamanya sekarang sudah lepas dari belenggu Rudi. Tapi ia juga kasihan dengan Sinta walaupun Sinta tak pernah sekalipun membelanya jika Rudi marah dan memukulnya. Biar bagaimanapun Sinta tetap mama tirinya kan?
Memikirkan rumitnya hubungan Rudi dan Sinta membuat kepala Arlena sedikit pusing. Ia baru ingat kalau sejak di kedai ia belum makan siang. Mengingat kalau ia tak akan mendapat jatah makan malam karena menjadi penyebab pertengkaran antara Rudi dan Sinta, Arlena memutuskan untuk pergi keluar sebentar untuk membeli makan malam. Sudah tidak ada suara pertengkaran di ruang tengah, ketika Arlena kembali masuk ke dalam rumah dilihatnya keduanya sedang makan malam.
"Malam ini lo nggak dapet jatah makan malam karena lo nggak ngasih gue uang. Lo nggak bakalan dapet jatah makan sampe lo setor uang lagi sama gue!" ucap Rudi.
Arlena mengabaikan ucapan Rudi. Percuma protes, karena tidak akan ada hasilnya. Arlena melanjutkan langkahnya ke pintu depan. Arlena tahu di ujung gang masuk kompleks ramai penjual makanan. Sakit yang semula diabaikannya, kini mulai kembali terasa. Perutnya perih. Arlena hafal dengan harga makanan yang dijajakan di sana karena tak jarang Sinta menyuruhnya untuk membeli makan di luar jika sedang bosan dengan masakan Arlena.
"Eh, ada neng geulis. " tegur Mang Ujang, penjual nasi goreng langganannya.
"Mang, nasi goreng satu ya. Dimakan di sini."
"Nggak dikasih jatah makan lagi, Neng?" tanya Mang Ujang.
Arlena menjawab pertanyaan Mang Ujang dengan senyuman. Mang Ujang tahu kelakuan Rudi yang sering minta uang karena ia tinggal tak jauh dari rumah Rudi. Akhir-akhir ini, ia juga baru tahu kalau Arlena sering tidak mendapat jatah makan dari cerita istrinya. Semenjak tahu hal itu, seringkali Mang Ujang menggratiskan nasi goreng untuk Arlena sehingga membuat Arlena merasa tidak enak. Kadang ketika ia tidak punya uang sama sekali, ia memutuskan untuk diam di kamar. Menahan laparnya dengan minum air putih sebanyak-banyaknya. Hidupnya tak jauh berbeda dengan gelandangan. Bedanya, ada Rudi yang kerap memukulinya kalau sedang kalah berjudi.
"Ini, Neng. Satu porsi nasi goreng spesial untuk neng Arlena," kata Mang Ujang membuyarkan lamunannya.
"Makasih ya, Mang."
Arlena segera memakan nasi gorengnya untuk mereda perih di perutnya yang semakin menjadi. Tiba-tiba ia ingat keluarganya. Rasanya sudah sangat lama sekali ia tidak bertemu dengan mereka. Hal itu membuatnya ingin menangis, tapi ditahannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponselnya, tanda ada panggilan masuk. Mama is calling. . .
'Halo. Assalamualaikum.'
"Waalaikumsalam, Ma."
'Kamu lagi apa, Sayang?'
"Lagi makan, Ma."
'Makan di rumah? Ini kebetulan Mama lagi di jalan mau ke rumah kamu.'
"Enggak, Ma. Alen lagi makan di warung depan gang rumah."
'Kamu tunggu di sana ya, sebentar lagi Mama sampe!'
"Iya, Ma."
'Assalamualaikum.'
"Waalaikumsalam."
Arlena kembali memasukkan ponselnya ke saku bagian dalam jaketnya. Untung saja ia tadi memakai jaket untuk menyembunyikan memar di lengannya bekas pukulan Rudi kemarin malam. Tak lama kemudian, mobil Rayhan berhenti di depan warung tempatnya makan.
Begitu turun dari mobil, Rayhan langsung membayar nasi goreng pesanan Arlena sedangkan Vira memeluk putri kesayangannya.
"Mama kangen sekali sama kamu."
"Iya, Ma. Alen juga!"
Arlena senang sekali bisa bertemu dengan Vira. Selesai makan, Arlena ikut Rayhan dan Vira. Ternyata mereka berhenti di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Rudi. Kafe itu cukup nyaman, Rayhan memesan meja di luar sedangkan Arlena dan Vira memanfaatkan waktu mereka untuk saling melepas rindu.
"Alen, gimana kabar kamu?" tanya Vira.
"Alen baik, Ma. Mama sendiri gimana?"
"Mama kangen sama kamu, Nak." Arlena memeluk Vira. "Kamu nggak dipukuli kan sama Rudi?"
"Enggak, Ma."
"Jujur sama Mama. Kalau memang Rudi sering pukul kamu, kamu bilang sama Mama. Biar Mama lapor ke polisi, Nak!" desak Vira.
"Ma, kalau kita lapor polisi, itu nggak akan menyelesaikan masalah. Mama sendiri paham kan gimana sifat orang itu? Kalau ada laporan masuk, bukan malah memberikan efek jera tapi malah akan membuat orang itu semakin nekad, Ma!" kata Arlena.
"Jadi benar kalau kamu sering dipukul sama Rudi?" tanya Vira.
"Nggak sesering yang Mama pikirkan kok. Terkadang kalau Arlena salah memang Arlena dapet hukuman," jawab Arlena.
Kedatangan Rayhan membuat topik pembicaraan Arlena dan Vira berakhir. Arlena mengalihkan topik pembicaraan ke hal yang lain. Saat sedang asyik mendengarkan cerita kedua orangtuanya tiba-tiba perhatian Arlena teralihkan ke pasangan yang baru saja masuk ke pelataran kafe tempat Arlena makan malam.
"Sayang, udah lama banget deh aku mau mampir ke kafe ini. Kata temen-temen makanannya enak loh!"
Arlena sempat mendengar ucapan sang gadis yang sedang menggelendot manja di lengan cowok yang dikenalnya itu.
"Alen? Kenapa? Kok nggak dimakan?" tanya Rayhan.
"Nggak papa, Pa. Tiba-tiba Arlena inget ada tugas yang belum Arlena kerjakan."
***
Sudah bisa ketebak siapa yang ditemui Arlena? Apakah pada akhirnya Vira dan Rayhan melaporkan Rudi ke polisi? Masih ada yang menunggu kelanjutan cerita ini? Kalau masih, vote dulu yukk~
betewe, selamat menjalankan ibadah puasa ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Teen FictionPosesif. Overprotektive. Dua kata itu mampu mendeskripsikan seorang Erlangga di mata Arlena. Membuntuti kemanapun Arlena pergi seolah menjadi kebiasaan bagi Erlangga. Dua kembar ini selalu terlihat bersama. Dimana ada Arlena, di situ pasti ada Erlan...