Divo memutar-mutar ponselnya yang ada di atas meja. Ia berulang-ulang mengecek notifikasi di ponselnya, berharap ada satu notifikasi dari orang yang ditunggunya. Jika biasanya harinya di sekolah ia mulai dengan menggoda Clara, kini ia duduk di sebelah jendela kelasnya yang menghadap langsung ke lapangan.
"Pagi, Sayang. Aku cari kamu kemana-mana, ternyata kamu di sini. Tumben kamu hari ini nggak nyamperin aku ke kelas?" sapa Clara. "Kemarin juga seharian kamu nggak hubungi aku."
Divo mengabaikan keberadaan Clara yang sudah duduk menempel di sebelahnya. Divo tetap melamun menatap luar jendela. Tepukan keras Clara di lengannya, mengagetkan Divo.
"Loh, Cla? Kamu di sini?" tanya Divo kaget.
"Kamu lagi mikirin apa sih? Daritadi aku ngomong, nggak di dengerin," rajuk Clara.
"Maaf ya. Aku tadi lagi mikirin ulangan nanti siang!" ucap Divo berbohong.
"Tumben banget sih kamu mikirin ulangan. Pasti kamu mikirin cewek lain ya?" tebak Clara.
"Cewek yang mana lagi sih, Cla?" tanya Divo.
"Tuh kan, daritadi kamu ngomong sama aku, tapi kamu manggil aku 'Cla'. Biasanya kamu manggil aku 'Sayang'."
Divo tidak menanggapi ucapan Clara.
"Kamu hari ini aneh banget deh, Sayang. Kamu kenapa sih?" desak Clara.
"Aku baik-baik aja. Kamu bisa nggak pagi ini balik ke kelas kamu dulu? Aku lagi pengen sendiri," usir Divo.
"Kamu ngusir aku?" tanya Clara tersinggung.
Divo tidak menjawab. Clara meninggalkan Divo di dalam kelas dengan dongkol. Tak lama kemudian Divo meninggalkan kelas yang mulai ramai karena bel akan berbunyi beberapa menit lagi. Di lorong menuju atap, ia berpapasan dengan Erlangga.
"Gue nggak suka lo deket-deket sama Arlena!" ucap Erlangga tanpa basa-basi.
"Kedekatan gue sama Arlena bukan urusan lo, Bro!" sahut Divo malas.
"Bukan urusan gue lo bilang? Cewek yang lagi lo deketin itu sodara kembar gue! Gue emang temen lo, tapi gue nggak mau ya kalau lo jadiin Arlena mainan lo!" kata Erlangga.
"Kenapa lo pikir kalau Arlena itu cuma mainan gue?" tanya Divo.
"Gue lagi nggak mau debat sama lo, Vo. Gue cuma mau lo jauhi Arlena!" ucap Erlangga.
"Kalau gue bilang nggak mau?" tantang Divo.
"Gue nggak akan biarin usaha lo berhasil!" sahut Erlangga geram.
"Gimana kalau gue bilang gue suka sama Arlena?" tanya Divo.
Erlangga tertawa geli mendengar pertanyaan Divo. "Apa lo bilang? Lo suka Arlena?"
"Iya gue suka sama Arlena."
"Jangan becanda lo!"
"Lo sendiri yang bilang kalau lo kenal gue, Er. Lo juga pastinya tau gue serius atau enggak sama-"
"Gue nggak tahu, Vo!" potong Erlangga.
"Lo pasti bisa lihat keseriusan gue, Er!" ucap Divo.
"Lo? Serius?" ulang Erlangga. "Jangan buat gue tertawa!"
"Er, gue-"
"Asal lo tahu, gue nggak peduli siapa aja cewek di luar sana yang lagi deket sama lo. Gue sama sekali nggak peduli. Asal bukan adek gue!" ucap Erlangga. "Dan gue tahu kalau lo nggak pernah serius sama cewek manapun!"
"Gue akan buktiin kalau apa yang lo omongin salah. Gue akan buktiin kalau gue emang serius sama Arlena," tekad Divo.
Divo menatap manik mata Erlangga selama beberapa saat kemudian pergi meninggalkan Erlangga sendirian di lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Teen FictionPosesif. Overprotektive. Dua kata itu mampu mendeskripsikan seorang Erlangga di mata Arlena. Membuntuti kemanapun Arlena pergi seolah menjadi kebiasaan bagi Erlangga. Dua kembar ini selalu terlihat bersama. Dimana ada Arlena, di situ pasti ada Erlan...