Kaki jenjangku berderap menuruni tangga kayu dengan salah satu tangan sibuk merogoh tas ransel ukuran sedang di lengan kiriku. Saking sibuknya, sampai-sampai Mami harus memanggilku berkali-kali agar segera sarapan.
“Sayang, ayo sarapan dulu!” seruan dari Mami kali ini berhasil membuatku mendongak dari kesibukanku.
“Iya, Mami.” sahutku cepat, lantas aku mempercepat langkahku menuju meja makan sembari melirik arloji.
Dengan membaca novel-- barang yang tadi sibuk aku cari-cari di dalam tas, aku menggigit roti tawar yang sebelumnya sudah diolesi nutela oleh Mami.
“Pelan-pelan dong, makannya. Ini masih pagi kok, kamu nggak akan terlambat. Lagian pak Saleh juga masih ngelap mobil.” ucap Mami seraya mengusap sudut bibirku, sedangkan salah satu tangannya yang bebas menaruh gelas goblet berisi susu di dekat piringku. Setelahnya, tangan Mami beralih pada rambutku yang masih terurai, beliau mengepang rambutku dengan cepat.
Sejak memutuskan untuk pindah ke kota yang dijuluki Kota Hujan ini, Papi menyewa jasa sopir untuk mengantar jemputku dan Mama kemana-mana. Karena lebih aman, juga karena Papi sibuk dengan pekerjaannya. Pekerjaan Papi juga menjadi alasan kenapa keluargaku diboyong ke Bogor beberapa tahun lalu.
Dalam waktu yang singkat, Mami telah menyelesaikan hasil karyanya pada rambutku. Setiap hari ada saja ide Mami untuk membuat rambutku terlihat indah dan rapi tentunya. Entah itu hanya di kucir satu, mengepang, ataupun dibiarkan di urai dengan memakai bandana atau jepit imut-imut.
“Mami, aku berangkat sekolah dulu.” kataku dengan mengecup pipi mami cepat. Bersamaan dengan itu telepon rumah yang berada di ruang keluaga berbunyi, Mami mengangkatnya lantas tak lama kemudian beliau memanggilku.
“Abang nih, mau ngobrol bentar sama kamu katanya.” kata Mami seraya mengulurkan gagang telepon padaku.
Aku mendesah pelan sembari berjalan mendekati Mami.
“Halo!” sapaku langsung.
“Selamat pagi, adik Abang yang cantik..” terdengar suara berat khas pria dari seberang.
“Pagi Abang. Abang nggak ada kerjaan? Kok pagi-pagi udah telpon?” kataku tanpa basa basi, jujur saja aku senang kalau Abang menelpon, namun tidak di waktu pagi saat aku hendak berangkat sekolah. Sebab pernah kejadian aku terlambat, karena menerima telpon dari Abang lantas memancingku untuk membicarakan tentang lahir dulu mana ayam dengan telur.
“Hehe, pasti kamu takut terlambat ke sekolah kan? Abang cuma mau kasih tahu kalau film kartun yang kaka kirim teasernya waktu itu udah rilis lho, kamu pasti belum tahu kan?”
“Benaran? Aku mau nonton!” rengekku,
Tuhkan, apa aku bilang? Abangku ini memang suka membuat adiknya terlambat ke sekolah. Untung saja Mami masih berdiri disebelahku, segera mengingatkanku. Sembari menunjuk arah jam dinding.
“AH! Abang! Gara-gara Abang nih, aku mau berangkat sekolah dulu deh. Daaahh!”
Mami mengantarku sampai beranda rumah.
Aku berlari kecil menghampiri pak Saleh yang tengah sibuk mengelap mobil dengan bersiul-siul ria.
“Pak, ayo berangkat!” ucapku seraya membuka pintu belakang mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heartbeat
Ficção Adolescente[PROSES REVISI ULANG] ------ Nesia, begitulah orang-orang terdekat memanggilku. Sedangkan nama lengkapku adalah Indonesia, itu saja. Aku lahir bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia, mungkin itu salah satu alasan kenapa kedua orangtua...