05

172 10 0
                                    

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah dengan berharap kalau hari ini ponselku ketemu. Entahlah dengan cara gimana, pokoknya aku berharap sekali kalau ponselku itu bisa ketemu segera.

Kakiku melangkah, menyusuri setiap jengkal sepanjang lintasan yang aku lewati kemarin, sampai-sampai aku membuka tong sampah meskipun mustahil ada disana.

“Neng, nyari apa?”

Aku mendongak kaget, seraya menyisipkan anak rambutku ke belakang telinga.

“Eng... enggak ada, Pak.” gelengku sembari mempercepat langkah menuju rooftop. Tempat kemarin yang paling lama ku diami, sebelum turun ke kelas.

Angin sepoi segar langsung menyapa ketika aku sampai di rooftop, udara pagi yang masih dingin membuatku menggigil. Ku rapatkan sweater merah jambuku.

Cukup lama aku mengedarkan pandanganku, mencari-cari ponsel pintar milikku. Sampai akhirnya aku kesal sendiri dengan diriku yang begitu ceroboh.

Bel masuk terdengar lirih, aku pun segera turun dari rooftop menuju kelasku dengan murung.

“Weh, lo dari mana Nes? Gue kira kagak masuk.” sambut Dhyanira saat aku memasuki pintu kelas.

Suasana ramai mulai menyapa telinga, aku memilih duduk di bangkuku dengan diam. Masih kepikiran tentang ponselku.

“Ditanya malah diem-diem bae, lo dari mana Nes?” Dhyanira kembali bersuara.

“Ponsel gue ilang, Ra.” suaraku lirih, cukup membuat Dhyanira membeliakkan mata.

“Hah? Seriuuusss? Demi apa?” yakinnya, yang hanya ku balas dengan anggukan pelan.

“Kapan tepatnya?” lanjutnya, lagi.

“Pas kita turun dari rooftop kemarin.”

“Hem, habis itu gue kan pamit pulang. Nah setelah itu, lo jalan ke mana? Ke kelas? Apa kemana?” berondongnya.

Aku mengangguk ragu, di pikiranku bercokol sebuah ingatan.

Hellow!!”

Mataku berkedip kompak saat sebuah telapak tangan melambai di depanku.

“Ya?” sahutku, setelah menguasai diriku.

“Lo nggak apa-apa?” tanyanya.

Aku mendongak, melihat sepasang mata beningnya tengah menyorotiku.

“Hei, malah ngelamun. Lo nggak apa-apa?”

“Hah? Enggak. Enggak apa-apa kok,” kataku gelagapan dengan menggeleng kuat.

Dia tersenyum padaku.

“Lo kenapa sih? Sekaget itu ya karena ketabrak? Maaf kalau gitu ya, gue tadi nggak lihat ada orang jalan.” katanya lagi, padaku yang masih saja belum sepenuhnya sadar.

“Lo kelas berapa? Sepuluh, sebelas?” tanyanya.

“Se-belas. Sebelas IPS dua,”

“Wah, bakalan bareng kalau pelajaran olahraga nih.”

“Iy-iya. Mungkin,”

“Hehe, oke deh. Gue mau ke atas dulu, see you.”

Aku mengangguk-angguk, membalas lambaian tangannya. Lantas meneruskan setengah perjalananku yang hampir sampai di kelas.

“Raaa! Gue inget!!” seruku antusias menoleh ke arah Dhyanira.

“Indonesia!” sela seseorang yang suaranya berasal dari arah meja guru.

Aku menoleh takut. Benar saja, ada bu Mirna berdiri disana.

“Nes, maafin gue.” bisik Dhyanira pelan, sangat pelan.

“Lo kok nggak ngomong sih, kalau bu Mirna udah masuk kelas?” balasku yang juga sangat pelan. Namun, sepelan-pelannya suaraku dan Dhyanira, telinga bu Mirna masih saja bisa merangkapnya.

“Dhyanira, Indonesia! Kalau kalian berdua tidak bisa diam, keluar dari kelas!” seru bu Mirna kalap.

Aku dan Dhyanira seketika membisu.

*My Heartbeat*


"Nes, beneran dia yang ngambil ponsel lo?" pertanyaan ke sepuluh dari Dhyanira yang ia lontarkan padaku.

"Kayaknya, sih. Soalnya dia orang terakhir gue temui kemarin di sekolah, dan setelah gue sadar kalau ponsel gue ilang." jawabku.

Dhyanira melongok ke dalam kelas dua belas IPA dua dengan ragu-ragu.

"Mau nyari siapa?" tanya seorang laki-laki berseragam rapi dengan kacamata persegi yang bertengger manis di hidungnya.

"Emm, siapa Nes?" Dhyanira menoleh padaku.

"Dilhan," jawabku

"Kak Dilan kak, ada nggak orangnya?" ceplos Dhyanira.

"Dilan atau Dilhan?"

Dhyanira kembali menoleh padaku, "Siapa sih Nes? Ngomong sendiri gih,"

"Kak Dilhan maksudnya kak," kataku langsung.

"Ada apa cari Dilhan?" sahut seseorang dari belakangku dan Dhyanira, yang sontak membuatku menoleh 180°.

"Hei, kalian berdua ternyata." sapa cowok yang kala itu menyapa kami, kalau tidak salah namanya kak Jojo, adik Aliando Syarief dalam fantasi.

"Kamu yang kemarin di tangga rooftop kan?" tanya Dilhan.

Aku mengangguk kaku.

"Ada apa ya?"

"Kakak tau ponsel dia nggak? Kemarin pas dia turun dari rooftop nggak ada alias ilang." jelas Dhyanira, membantuku menjelaskan karena aku gugup.

Dilhan terdiam sejenak, lantas memandangku.
"Oh, itu ponsel kamu?"

"Iya kak,"

"Ada di aku, tapi nggak aku bawa. Kamu kelas IPS 2 kan?"

Aku mengangguk.

"Besok aku anterin ke kelas kamu. Oke?"

Lagi-lagi aku cuma mengangguk saja. Setelah itu aku dan Dhyanira berpamitan untuk kembali ke kelas.

To be continue,

My HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang