04

205 11 0
                                    

“Kenapa baru bilang sekarang, dek? Memangnya kamu tadi kemana aja, habis dari rooftop sama Rara, coba inget-inget lagi.” ucap Mami padaku saat kami baru saja mendarat di rumah.

Aku menunduk, takut kalau Mami marah dan mengaduh pada Papi mengenai kehilangan ponsel ini, yang lebih menakutkan lagi kalau berita ini sampai di telinga Abang, mengingat ponsel yang hilang itu adalah pemberiannya padaku saat usiaku bertambah tahun lalu.

Memang sengaja aku ceritakan pas sampai rumah, agar Mami tak mengajakku putar balik ke sekolah untuk berkeliling mencari ponselku yang tak tahu keberadaannya saat ini. Bukannya aku tak mau mencarinya disana, tapi aku merasa kalau ponselku tak akan ketemu.

“Mami coba miss-call nomor kamu ya? Siapa tahu ada yang ngangkat.” kata Mami, membuatku langsung mendongak lantas mengangguk. Semoga saja berhasil, batinku.

Mami mulai mencari-cari nomorku di kontak keluarga, lalu mendialnya cepat. Cukup lama kulihat beliau menempelkan layar enam inchi di telinga, menunggu seseorang menerima panggilannya.

“Yaaa. Nggak aktif dek,” keluh Mami, menoleh padaku.

Aku menghela napas sedih.
“Tadi emang bateraiku tinggal beberapa persen sih Mi, jadi mungkin sekarang lowbatt. Gimana dong? Nanti kalau Abang telepon ke ponselku gimana? Aku takut Abang marah, kalau tau ponselnya ilang Mii. Pasti kecewa juga, itu kan hadiah ulang tahun aku.”

Mami mengusap bahuku yang meluruh di sofa, “Udah jangan khawatir soal itu, Abang nggak akan marah kok. Dia pasti ngerti,”

Aku juga berharap begitu, berharap Abang nggak marah. Tapi, bagaimanapun juga aku tetap saja merasa bersalah karena menghilangkan kado istimewa darinya. Mendadak pikiranku mundur ke tanggal ulang tahunku tahun kemarin.

“Surprise!! Happy birthday my sweetie, Indonesia.” serunya lantang, yang membuatku sontak membuka mataku. Menguceknya perlahan sekaligus mengumpulkan nyawanya yang masih berpendar di alam mimpi.

“Happy birthday my darling, Nusantara, Indonesia!!” susul kedua orangtuaku tak kalah lantang dan antusias.

“Happy birthday too, prince. Happy birthday too Mami, Papi.” balasku dengan suara serak khas orang bangun tidur, seusai berhasil mengumpulkan nyawaku.

“Wake up, sweetie. Wake up! Ayo kita rayakan hari istimewa ini dengan ceriaa! Abang punya hadiah untukmu, sweetie.” Abangku mengangkat tubuhku yang masih terlentang malas di ranjang.

“Come on! Come on, darling.” suara kedua orangtuaku kembali terdengar.

Aku didudukkan di sofa, yang di depannya telah ada puluhan hadiah dan kue ulang tahun yang indah.

“Woah! Apa ini milikku semua?” kataku antusias.

Abang mengambil salah satu kotak hadiah, lantas disodorkannya padaku.

“Ini hadiah istimewa untuk kamu, dari Abang.” ucap Abang, lantas mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Smartphone edisi terbaru, display paling depan di konter IT.”

“Kamu masuk kamar sana, ganti baju.” suara Mami menarikku ke dunia nyata.

Aku mengangguk seraya beranjak dari sofa ruang serbaguna.

*My Hearbeat*


Selepas makan malam bersama Mami dan Papi, aku hendak kembali ke kamar untuk menyiapkan buku untuk pelajaran besok. Namun, sebelum aku beranjak dari tempat dudukku, Papi memanggilku lalu menanyaiku tentang kenapa aku kok murung.

Aku melihat ke arah Mami, lalu beliau mengangguk padaku seolah berkata, ngomong aja, nggak apa-apa.

Gantian, setelah melihat Mami aku kini melihat Papi yang menunggu aku bersuara.

“Tapi, Papi jangan marah ya?” wanti-wantiku, sebelum menjawab pertanyaannya.

Papi terkekeh, seraya mengacak rambutku pelan.
“Kenapa Papi harus marah sama kamu? Kan Papi cuma nanya kenapa kamu murung. Padahal Papi udah ada di rumah sekarang,”

Aku tersenyum kaku.
“Hem, ponsel hadiah dari Abang hilang.” ungkapku, yang ternyata tak membuat Papi kaget sama sekali. Malahan beliau tersenyum, menoleh pada Mami.

“Kok Papi nggak kaget sih,” kataku, melas. Padahal tadi aku itu deg-degan nggak karuan waktu mau ngomong, kalau ponsel pemberian Bang Tara raib.

Mami terkikik melihatku dan Papi, “Tuh kan, apa Mami bilang. Papi nggak akan marah, kalau kamu jujur.” ucapnya,

“Hem, Papi sebenernya kaget sih pas Mami kamu ngomong sebelum kamu. Jadi, sekarang Papi nggak sekaget tadi.” ungkap Papi yang membuatku menoleh pada Mami.

Aku mencebik, “Mamii,” lirihku.

“Maaf ya Pi, Mi. Aku teledor banget, udah ngilangin ponsel yang dibeliin Bang Tara. Harusnya sih minta maaf ke Bang Tara juga, tapi aku takut. Karna takut dia kecewa, hadiah darinya aku ilangin gitu aja.” jelasku dengan hati-hati. Hatiku dag-dig-dug, berdebar-debar tak keruan.

“Yaudah. Besok coba kamu tanya sama temen-temenmu, siapa tahu ada yang nemuin ponsel kamu. Atau, tantemu suruh ngumumin di interkom.” saran Mami dengan tersenyum tulus padaku.

“Iya, nanti Papi ngomong baik-baik sama Abang. Dia juga bakalan ngerti kok,” sanggah Papi.

Aku hanya mengangguk-angguk, sekaligus terharu karena mempunyai kedua orangtua seperti mereka. Yang memproses dulu penjelasan anaknya, sebelum mengambil kesimpulan. Tidak langsung memarahinya, tanpa mendengarkan ceritanya dulu.

“Papi tumben bisa pulang, biasanya sibuk mulu jalan-jalan mantau hotel ke hotel.” kataku, kini keluar dari masalah hilangnya ponselku.

“Hem, Papi nggak jalan-jalan sayangku. Papi itu kerja,” balas Papi. “Kebetulan juga tadi pagi tamu VVIP Papi check out, jadi bisa pulang. Meskipun minggu depan, Papi harus terbang lagi,” lanjutnya, membuatku bibirku melengkung ke bawah.

“Kamu jadi terbang ke SG minggu depan?” pasti Mami,

Papi menggeleng, “Bukan ke SG, tapi ke Balikpapan.”

Mataku membeliak saat Papi menyebut kota kelahiranku itu.

“Papiii, ikuuutt!” rengekku.

Mami menggeleng, “Kamu kan sekolah, dek. Jadi nggak bisa, nanti ya kalau liburan.”

"Ke Balikpapan?"

"Ke SG."

Aku cemberut seraya menyilangkan kedua tangan.

“Nanti ya, kalau libur sekolah. Kita ke SG.” ucap Papi.

To be continue,

My HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang