03

206 13 1
                                    

“Ra, lo bawa mobil?” tanyaku saat kita berjalan menyusuri lorong kelas, lantas menuruni anak tangga.

Dhyanira mengangguk-angguk sembari mengunyah sisa potongan roti gandumnya, setelahnya ia mengemuti sisa greentea di jari-jarinya yang membuatku mengerutkan kening. Segitu enaknya ya?

Setelah dari kantin tadi, aku mengajaknya ke rooftop. Untuk menikmati angin sepoi-sepoi dari atas sana, sekaligus mengamati murid cowok yang tengah bermain futsal di lapangan outdoor. Sebenarnya tak terlalu kelihatan jelas sih, tetapi cukuplah untuk bahan tontonan daripada cuma duduk-duduk aja.

“Tapi, maaf banget Nes. Gue nggak bisa nebengin lo hari ini, soalnya gue barengan sama sepupu gue. Si Dean, lo tau sendiri emaknya gimana kalau gue nggak nganterin dia tepat waktu,” ujar Dhyanira setelah selesai menelan habis rotinya. “Gue tadinya nggak mau, tapi Bibu maksa nyuruh bareng,”

Aku menepuk pundaknya pelan, “Nggak papa, santai aja kali. Gue bisa nebeng lainnya nanti, kalau enggak minta jemput Mami.” kataku santai, sebenarnya sih enggak. Tapi karena takut dia merasa bersalah jadi aku pura-pura santai, padahal aku tuh bingung nanti mau pulang sama siapa, Mami lagi pergi arisan dianterin pak Saleh. Syukur-syukur kalau mereka pulang tepat waktu, dan menjemputku di sekolah.

“Oke deh, besok-besok gue tebengin deh kayak biasanya. Biar tuh si Dean sama temennya, si Missel.” dia berkata lagi.

“Okee!” anggukku senang.

Dhyanira tersenyum tulus, tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Diangkatnya telepon seluler tersebut, sembari aku diam memperhatikan.

“Halo, De. Ada apa? Yaelah, iya iya. Kalau gitu, tungguin di parkiran deh. Gue kesana sekarang!” aku bersandar di dinding, sembari melipat kedua tanganku dengan telinga mendengar percakapan Dhyanira dan sepupunya yang sekitar tiga menit lalu kita omongin.

“Nes, gue duluan ya? Si Dean barusan telepon gue nih, ngajak pulang. Katanya sih, udah dibolehin pulang.” kata Dhyanira.

Aku mengangguk-angguk, “Iyaa iya. Hati-hati di jalan.”

“Oke deh, bye!”

Ku lihat Dhyanira berlarian kalang kabut menuju kelas, mengambil tasnya. Sebelum ke pelataran parkir.

Aku menghembuskan napas kasar, seraya merogoh saku untuk mengambil ponselku. Dengan berjalan menunduk aku mengetikkan pesan untuk Mami, apakah beliau sudah selesai acaranya?

Bruk!
T

ubuhku menabrak tubuh seseorang yang lebih tinggi dariku. Hingga membuatku tak bisa melihat wajahnya, karena wajahku menyuruk di dadanya. Wangi parfum menguar dari pakaiannya, khas parfum cowok.

Aku segera mengambil dua langkah ke belakang, setelah cukup lama mengendus bau parfum yang anehnya langsung membuatku suka. Ku tatap pakaian yang ia pakai, sebuah nama terukir disana.

Dilhan.
Bukannya itu jaket kedodoran yang dipakai kakak kelas tadi pagi? Ah, kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi sih! Jangan-jangan dia mau marah-marah karena Rara tadi sudah mempermalukannya di depan mading. Berbagai spekulasi bercokol di kepalaku, membuatku ketar-ketir sendiri.

“Hellow!!”

Mataku berkedip kompak saat sebuah telapak tangan melambai-lambai di depan wajahku.

“Ya?” sahutku, setelah menguasai diriku.

“Kamu nggakpapa?” tanyanya.

Aku mendongak, melihat sepasang mata beningnya tengah menyorotiku.

“Hei, malah ngelamun. Kamu nggak apa-apa?”

“Hah? Enggak. Enggak apa-apa kok,” kataku gelagapan dengan menggeleng kuat.

Dia tersenyum padaku.

“Kamu kenapa sih? Sekaget itu ya karena ketabrak? Maaf kalau gitu ya, aku tadi nggak lihat,” katanya lagi, padaku yang masih saja belum sepenuhnya sadar.

“Kamu kelas berapa? Sepuluh, sebelas?” tanyanya.

“Se-belas. Sebelas IPS dua,” bodoh, kenapa aku menyebutkan lengkap kelasku, padahal dia hanya bertanya aku kelas berapa, bukan kelas apa.

“Wah, bakalan bareng kalau pelajaran olahraga nih.”

“Iy-iya. Mungkin,”

“Hehe, oke deh. Aku mau ke atas dulu, see you.”

Aku mengangguk-angguk, membalas lambaian tangannya. Lantas meneruskan setengah perjalananku yang hampir sampai di kelas.

*My Heartbeat*

Ketika sampai di pos satpam, aku menggeledah isi tasku untuk mencari ponselku yang tidak ada di saku. Aku ingat sekali kalau itu ponsel masih ada di tanganku saat menuruni tangga. Duh, pikiranku menjadi kalut. Takut kalau Mami membalas pesanku.

“Neng, nyari apaan? Kok sampai begitu,” suara pak satpam menyapa gendang telingaku.

“Hp pak, hp saya ilang.” sahutku.

“Waduh, beneran neng? Ya ampun, kok bisa sih. Tadi ilang dimana?”

“Tadi sih ada pak, waktu saya jalan ke kelas.” kataku, masih sibuk mengulik isi tas.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara klakson mobil. Lantas suara dari sosok yang tak asing bagiku.

“Mami?”

“Iya. Ayo pulang, maaf ya agak lama. Tadi macet,” ucap Mami menyambutku ke dalam pelukannya. Seperti ibu pada anaknya yang masih duduk di bangku TK.

“Ih, Mami bikin malu. Aku tuh udah gede,” kataku saat menyusul Mami di dekat mobil. Pak Saleh yang berada di depan kap mobil pun segera berlari kecil membukakkan pintu untukku dan Mami.

“Silakan buk, neng kecil.” aku mendelik saat pak Saleh memanggilku neng kecil.

“Maaf neng,” katanya dengan nyengir kuda.

Aku mendengus, sedangkan Mami terkikik.

“Kamu udah makan?” tanya Mami.

Aku menggeleng.

“Pak Saleh, ke drive-thru restoran ayam di depan sana ya?” ucap Mami pada pak Saleh.

“Baik, bu.” sahutnya.

Mobil yang dikendarai pak Saleh, berhenti di sebuah drive-thru makanan cepat saji. Pak Saleh menurunkan kaca mobil seraya menoleh pada Mami dulu sebelum menoleh ke arah pelayan kasir.

“Mau pesen apa, buk?”

Chesse burger sama lemon tea, dan chicken spicy sama cola.” sahut Mami dari belakang. “Pak Saleh pesen juga aja, ini uangnya.” Ku lihat Mami menyodorkan beberapa pecahan uang pada pak Saleh.

“Kamu kenapa diem aja sih, dek?”

Akhirnya, aku tidak bisa mengelak lagi saat Mami bertanya padaku.

To be continue,

My HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang