02

244 17 2
                                    

“Nesiaaa! Nesiaaa! Nesiaaa!!!” histeris Dhyanira yang memekakkan telingaku seketika.

“Lo kok nggak bilang sih sama guee, kalau dia itu senior! Kan malu gue jadinya! Ya ampun, mau taruh mana nih muka gue yang beauty ini, Nesss! Dia IPA dua lagi, pasti olahraganya barengan nih sama kelas kitaaa.” histerisnya lagi, kali ini lebih pelan dari yang pertama.

“Hei, mulut lo Ra! Gue sumpal pake kaus kaki si Boni, mau? Lagian, gue udah peringatin lo, buat balik ke kelas tapi lo-nya masih aja ngomel.” kataku, yang sudah tidak tahan dengan ocehannya.

Dhyanira menarik napasnya kasar, sembari merapikan anak rambutnya ke belakang telinga. Rambutnya yang jarang di kucir rapi itu kini tambah kelihatan seperti singa, berkat dicerai-berai oleh tangannya sendiri.

“Nggak mauu! Maunya di sumpal pake roti gandum rasa greentea di kantin!” balas Dhyanira.

“Mulut lo Ra! Masih sempet-sempetnya mikirin makanan. Buruan siap-siap ke lapangan, upacara.” kataku, seraya mengambil topi dan dasi di tas.

Dhyanira membelalakkan mata padaku, apalagi nih anak deh, pikirku dengan memutar mata jengah.

“Lupa bawa dasiiii!” serunya melas.

“Ya ampun, Raa. Gimana sih? Kan udah gue bilangin, bawa perlengkapan sekolah di minggu kedua di hari pertama masuk lalu,” balasku sembari memasang dasiku secepat kilat.

“Duuuh, ya gimana Ness. Gue kan pelupa, lo sih ngasih tau satu minggu sebelumnya, nah kan lupa dah!” katanya dengan heboh, sampai seorang guru datang memperingatkanku dan Dhyanira agar cepat menuju lapangan.

Aku menarik pergelangan tangan Dhyanira, agar segera menuju lapangan. Dimana murid baru dan murid tua alias kelas sebelas dan dua belas berkumpul dalam satu lapangan. Murid tingkat pertama yang masih kelihatan malu-malu meong, sedangkan murid tingkat selanjutnya sudah mulai kehilangan malu-malu meongnya sejak tadi pagi, melihat namanya terpampang di deretan kelas XI.

“Ayo ayo, masa udah kelas XI nggak bisa baris rapi! Malu tuh sama adek kelas. Terus yang nggak pakai atribut lengkap, maju ke barisan depan! Jangan ada yang sembunyi yaa, saya bisa melihat semuanyaa.” perintah pak Broto, selaku guru BK yang menjunjung tinggi aturan SMA HB berikut visi misinya.

“Eh, gue mau ke toilet dulu Nes. Lo duluan ke barisan, nanti gue nyusul! Sekalian nungguin si macan nggak ngawasin barisan kelas sebelas.” tahan Dhyanira, saat mendekati barisan kelas.

Aku mendelik padanya, “Gila lo, nanti kalau lo ketahuan gimana?” kataku, sebelum dia menghilang di balik tembok.

“Indonesiaaa! Kamu ngapain disana? Ayo baris.” tuhkan, aku kena batunya Dhyanira. Kenalah aku di sembur pak Broto, pagi-pagi, di hari pertama masuk sekolah lagi. Sungguh momen yang langka bagiku, mengingat reputasiku yang cukup bagus di beberapa mata guru, mengenai prestasiku di ekstrakulikuler basket.

Aku berlarian menuju barisan kelas baruku, XI IPS 2. Menyapa teman-teman baruku, yang beberapa sudah ku kenal dari kelas X.

“Si Rara tadi kemana, Sa?” tanya Olin, teman sekelasku dulu.

“Ke toilet,” jawabku singkat. Lantas, memilih untuk diam sepanjang upacara di laksanakan.


*My Heartbeat*


Memasuki hari pertama dimulainya pelajaran memang begitu berat bagi murid sekolah yang sudah terlena menikmati masa liburan, apalagi jika di rumah hanya ongkang-ongkang saja, makan tinggal makan, mandi pun jarang, di lakukan jika memang sudah berbusa mulut ibunya mengomel. Ranjang menjadi kerajaannya setiap hari, setiap saat. Termasuk aku, yang kerjaannya tiap hari ongkang-ongkang di kamar baca novel-novel kiriman rutin dari Abang tersayangku di pulau Borneo sana, hingga membuat kantung mataku gelap, sampai-sampai Mami tiap hari harus mengantar makan siang dan malam ke kamarku sambil mengomel.

Suasana depan kelas XI IPS begitu gaduh, banyak murid-murid yang duduk-duduk di bangku beton depan kelas. Ada yang mengobrol ngalor-ngidul, melepas rasa rindu bergosip ria bersama teman setelah sekian lama tak bertemu langsung. Sedangkan aku, memperhatikan mereka sembari membaca kelanjutan alur cerita novel teen fiction yang ku bawa dari rumah. Jujur, bukannya aku tidak ingin bergabung, dan ikut merumpi ria bersama mereka, tetapi entah mengapa novel yang ku baca saat ini lebih menarik daripada ikut melebur bersama mereka.

“Woi!” sapa Dhyanira, yang langsung duduk di sebelahku.

“Dari mana aja lo?” kataku, tanpa menoleh padanya.

“Dari UKS,” ucap Dhyanira.

Aku sontak menoleh padanya, mengamati tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, untuk memastikan kalau dia tidak apa-apa. Satu lagi yang harus kamu tahu, kalau aku panikan saat mendengar orang sakit.

“Gue nggak apa, Nes. Tadi gue kesana pura-pura sakit perut, makanya baru balik nih.” sahut Dhyanira, yang sudah hafal dengan sikap panikku.

Aku menghela napas lega, “Ooh, gue kira lo kenapa Ra.” sahutku, khawatir.

Dhyanira tertawa sumbang diikuti sebuah anggukan.

“Eh, ke kantin yuk? Mau roti ganduum.” rengek Dhyanira padaku. Aku pun mengangguk bersemangat.

To be continue,

My HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang