Ilustrasi: Dewi Nagagini dan Sang Hyang Antaboga (karya HerjakaHS)
ada getaran kurasa saat kita berjumpa
getaran perasaan yang kurasa di dalam dada
dan ku terpana, terpesona
seketika saja langit ini penuh dengan bintang
seketika saja hati ini penuh bunga-bunga
dan ku terpana, ku bahagiacinta cinta cinta, ku jatuh cinta
cinta cinta cinta, ku bahagia(Lagu oleh: Wizzy feat Sandhy Sandoro - Cinta Cinta Cinta)
Nagagini menyadari bahwa dirinya dan Bima bukan merupakan satu rumpun bangsa. Nagagini adalah keturunan dewa berjenis ular Naga. Sedangkan Bima adalah kesatria keturunan manusia pada umumnya. Namun Bima bagi Nagagini adalah keistimewaan. Ada getaran khusus yang belum didapatkannya pada manusia kebanyakan. Sejak perkenalannya dengan Bima, Nagagini tidak pernah melepaskan pikirannya atas Bima. Usaha untuk menghapus bayangan Bima diangannya tak pernah berhasil, bahkan semakin jelas tergambar.
Demikian halnya yang terjadi dengan Bima. Sejak pertemuannya dengan Nagagini, Bima gelisah luar biasa. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Bima. Bahkan Bima sendiri tak habis mengerti mengapa tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang menggelayut di angannya. Selama hidup belum pernah ia merasakan gejolak perasaan yang seperti ini. Bima tidak tertarik lagi membicarakan tentang peristiwa Bale Sigala-gala, kejahatan Sengkuni dan tahta Hastinapura, kecuali pembicaraan perihal pertemuannya dengan Dewi Nagagini. Bima juga tidak mempunyai hasrat untuk makan ketika dijamu dan tidur ketika larut malam, kecuali hasratnya untuk selalu bertemu dan bersanding dengan Nagagini. Lain yang dirasakan Nagagini, Bima tidak mempedulikan bahwa dirinya dan Nagagini adalah berbeda. Yang dirasakan Bima adalah bahwa Nagagini telah menawan seluruh akal budinya.
Sama-sama berangkat dari kegerahan hati yang memuncak, mereka berdua dipertemukan di sebuah taman
"Raden Bima, belum tidurkah?"
Pertanyaan Nagagini tidak membutuhkan jawaban, namun cukup mengejutkan Bima, yang tidak menyangka bahwa Nagagini berada ditaman yang sama.
"Engkau juga belum tidur Nagagini?"
Jika keduanya mau jujur pasti jawabnya sama.
'Karena engkaulah yang menyebabkan aku tidak dapat tidur malam ini.'
"Raden Bima senangkah engkau tinggal di sini?"
"Sangat senang Nagagini"
"Sangat senang? Mengapa?"
"Karena ada kau"
"Sungguhkah Raden? Karena aku?"
"Sungguh Nagagini. aku berkata dengan hati."
"Engkau amat jujur Raden. Aku kagum kepadamu."
"Sungguhkah Nagagini, engkau kagum padaku?"
Sembari tersenyum Nagagini mengangguk. Dada Bima bergelora. Hatinya tumbuh seribu bunga.
"Nagagini ini negara mana?"
"Apakah kakakku Nagatamala belum menjelaskan kepadamu?"
Bima menggelengkan kepala. Selanjutnya Ngagini memberitahukan bahwa ini adalah kahyangan Saptapertala, yang berpusat di dasar bumi lapisan ke tujuh. Rajanya adalah ayah Nagagini, bernama Sang Hyang Antaboga.
"Ibuku adalah bidadari bernama Dewi Supreti. Kami sebenarnya adalah bangsa ular yang sudah menjadi dewa-dewi."
Bima mencoba mengingat apa yang telah dilihatnya. Para perajurit dan orang-orang di Saptapertala, termasuk Nagatatmala berbau amis, berkulit kasar seperti sisik ular. Namun yang mengherankan adalah Nagagini. kulitnya kuning halus bersinar.
"Apakah Sang Hyang Antaboga berujud Dewa? Atau Ular Naga?"
"Berubah-ubah. Tetapi jika ayahku marah, ia menjelma menjadi seekor naga ganas yang mengerikan. Apakah engkau takut Raden"
Tatapan mata Nagagini menyimpan kekawatiran yang amat dalam. Jika Bima takut, harapannya untuk bersanding dengan Bima lebih lama, takan pernah kesampaian.
"Aku tidak takut Nagagini"
"Benarkah Raden?"
"Aku pernah ditolong naga Aryaka penguasa Bengawan Gangga dan diberi minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, itu aku merasakan daya yang luar biasa. Walaupun aku berada di dasar Bengawan Gangga. Rasanya berada di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah."
"Ah Bima, pengalaman luar biasa."
Hampir saja Nagagini melompat kegirangan. Pengalaman Bima dengan naga Aryaka menyiratkan bahwa perkenalan dengan Bima akan berlanjut lebih jauh.
Mata Nagagini berbinar-binar mendengar penuturan Bima. Pemuda di hadapannya yang pernah melintas di dalam mimpi tersebut benar-benar istimewa. Di dalam darahnya telah mengalir Tirta Rasakundha, sebuah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh bangsa Naga. Tirta Rasakundha ibarat benang merah yang menghubungkan naluri mereka, maka pantas saja ada getaran khusus di antara kedua hati yang saling menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan. Nagagini semakin percaya bahwasannya pertemuan ini telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa. Betapa indahnya hari itu. Saat mereka untuk pertamakali saling bertemu, saling mengenal dan terutama saling berbagi cinta, cinta antara pria dan wanita yang baru pertama kali ini bersemi, bahkan bersemi dengan cepat.
"Raden Bima, engkau mengatakan sangat senang tinggal di Saptapertala ini, lantas apa rencanamu selanjutnya?"
Bima kebingungan sebentar, kemudian ia menjawab.
"Aku tidak mempunyai rencana apa pun, karena bagiku tinggal di tempat ini dan berdampingan dengan engkau, adalah segalanya."
"Ooh! Benarkah Raden Bima? Aku merasa tersanjung oleh kata-katamu Raden. Alangkah bahagianya jika engkau tinggal di sini berada di sampingku dan tidak akan pernah meninggalkanku."
"Sesungguhnya aku pun merasakan hal yang sama, ingin selalu berada di sampingmu, Nagagini."
"Benarkah Raden?! Oo alangkah bahagianya jika pertemuan ini terus berlanjut sampai waktu yang tak terbatas."
"Iya, aku setuju Nagagini, lalu bagaimana caranya?"
"Nah, itulah yang tadi aku tanyakan kepada Raden, apa rencana Raden selanjutnya?"
"Terserah kamu Nagagini, aku manut."
"Manut bagaimana ta Raden? Tidak selayaknya dalam hal ini pria mengekor wanita."
Nagagini tersenyum geli atas keluguan dan kejujuran Bima. Mereka berdua semakin akrab. Dunia menjadi milik mereka berdua termasuk taman Saptapertala yang asri. Sehingga tidak menyadari kehadiran Yudhistira dan Arjuna di taman tersebut. Sejak datang di taman Saptapertala beberapa saat lalu, Yudhistira dan Arjuna tidak enak untuk menyapa Bima yang sedang berduaan dengan Dewi Nagagini. Yudhistira dan Arjuna diam-diam mengagumi Nagagini yang mempunyai kecantikan khusus yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kecantikan Nagagini adalah kecantikan yang memancar dari dalam keluar melalui matanya, senyumnya, gerak-geriknya dan seluruh kulitnya. Sungguh luar biasa. Pantas saja Bima yang lugu-kaku terpana karenanya.
Rupanya Yudhistira dan Arjuna kalah betah dengan Nagagini dan Bima di taman Saptapertala berlama-lama. Mereka akhirnya terpaksa menyapa Bima yang memang sudah beberapa waktu tidak menyadari kedatangan kakak dan adiknya.
Baru setelah disapa Yudhistira, Bima tersadar bahwa mereka tidak hanya berdua di taman Saptapertala.
"Adikku Bima, dan engkau Dewi Nagagini, maafkan kami telah mengganggu kalian berdua. Kedatangan kami di taman ini untuk menemui Bima dan mengajaknya bersama ibu Kunthi dan adik-dikku yang lain menghadap Sang Hyang Antaboga, penguasa kahyangan Saptapertala ini, malam ini juga."
Bima mempunyai perasaan tidak enak kepada Yudhistira kakaknya. Karena hingga saat ini Yudhistira belum pernah menjalin hubungan akrab dengan seorang wanita. Namun apa mau dikata, Bima menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang tidak kuasa menolak atau pun menghindar dari apa yang sudah diatur oleh Sang Hyang Tunggal. Termasuk pertemuannya dengan Nagagini bukanlah secara kebetulan, tapi telah diatur oleh Batara.
Nagagini tersipu malu. Ia mempersilakan Bima mengikuti Raden Yudhistira dan Raden Arjuna meninggalkan taman Saptapertala. Taman yang menjadi saksi, bahwa di tempat ini dua sejoli telah mengawalinya, merenda benang-benang cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHACINTABRATA III: ARJUNA MENCARI CINTA
Historical Fiction"Mahacintabrata" adalah sebuah novel modern bagi penyuka wayang atau siapa pun yang ingin tahu tentang seni warisan budayawan Indonesia ini. Kisah pewayangan akan diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik dan mudah dicerna, sehingga membuat pemb...