BAGIAN 33. RADEN RAWAN

477 32 0
                                    

Ilustrasi: Resi Hijrapa bertanya kepada Raden Rawan, mengapa dirinya sanggup menjadi korban untuk Prabu Dwaka (karya Herjaka HS 2010)


Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang hampir separonya terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari suara yang paling jauh hingga suara yang paling dekat.


Irama doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.


Namun tidak untuk malam itu. suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.


Ketakutan dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.


Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah 'ingkung' manusia.


Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani menyatakan di hadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ketiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.


Dalam situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu. Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja.


Di mata orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu, terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yang tidak terduga sebelumnya.

MAHACINTABRATA III: ARJUNA MENCARI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang