BAGIAN 30. MEREDAM PERMUSUHAN

548 28 1
                                    

Ilustrasi: Kunthi dan Pandhawa meninggalkan Saptapertala, Sadewa dan Nakula digendong Bimasena (karya Herjaka HS, 2009)


Ketika matahari mulai menampakan sinarnya kemerah-merahan, terdengar suara gamelan mengalun dari di pusat kotaraja Saptapertala. Dari kejauhan suara gamelan tersebut terdengar menyatu dengan suara serangga-serangga malam yang saling bersaut-sautan. Perpaduan aneka suara tersebut bagaikan sebuah komposisi musik para dewa tatkala sedang melakukan puja asmara.

Malam itu ibu kota Kahyangan Saptapertala berhias dengan keindahan. Bak gadis dewasa yang sedang bersolek manja. Disetiap sudut kota dipasang umbul-umbul serta rontek, dan dipadu dengan penjor-penjor berhiaskan janur kuning. Hiasan-hiasan tersebut ditancapkan ke pinggir jalan dengan sudut kemiringan enampuluh derajat, sehingga seakan menunduk memberi salam hormat kepada siapa saja yang melewati jalan itu. Kawula Saptapertala yang hampir sebagian besar berkulit kasar seperti sisik, berduyun-duyun menuju pusat kota raja. Di dunia bawah tanah pada lapis ke tujuh yang disebut Kahyangan Saptapertala ini kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan di atas dunia atau di marcapada, yang membedakan adalah orang-orang di Saptapertala berkulit kasar seperti sisik.

Menjelang tabuh tujuh, alun-alun Kotaraja berubah menjadi lautan manusia mereka datang dari penjuru negeri, ingin menyaksikan peristiwa yang amat bersejarah, yaitu perkimpoian antara bangsa manusia dan keturunan dewa ular. Perkimpoian antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.

Sebelum kedua Calon Penganten dipertemukan dalam upacara Panggih, di pendapa induk yang terletak di pinggir alun-alun, diadakan tarian sakral lingga-yoni yang melambangkan perkimpoian agung antara Dewa Siwa dan Dewi Uma. Konon tarian tersebut diadakan, adalah untuk ritual penghormatan kepada dewa Siwa. Namun saat ini tarian tersebut dipentaskan untuk menyambut dan menghormat calon pengantin berdua. Selain itu tarian Lingga-yoni juga merupakan doa pengharapan agar bumi Saptapertala mengalami kesuburan dan kesejahteraan.

Setelah tari Lingga-yoni selesai, mengumandanglah kidung malam yang berisi sebuah mantra untuk mengingatkan agar semua makhluk, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan saling menempatkan diri pada tempatnya, sesuai dengan demensi mereka, sehingga diantara mereka tidak saling mengganggu.

Singgah-singgah kala singgah

pan suminggah durga kala sumingkir

sing aama sing awulu

sing asuku sing asirah

sing atenggak kalawan sing abuntut

padha sira suminggah

muliha mring asal neki

Hening suasana, semua yang hadir diam. Mereka mencoba mengikuti dan menghayati tiap kata yang ditembangkan dengan telinga dan hatinya hingga sampai dengan nada terakhir. Maka legalah batin mereka, setelah tembang singgah-singgah usai. Mereka berkeyakinan bahwa upacara panggih pengantin akan lancar dan baik adanya.

Seperti apa yang direncanakan dan dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik Raden Bimasena dan Dewi Nagagini telah resmi dipersatukan sebagai suami istri. Hyang Antaboga amat gembira menyaksikan pasangan Raden Bimasena dan Dewi Nagagini. Bagi Dewa penguasa bumi ini, perkimpoian antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini tidaklah merupakan perkimpoian pada umumnya. Perkimpoian mereka bagaikan symbol bersatunya antara bangsa manusia dan bangsa ular yang selama ini tidak saling bersahabat. Atau juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali keharmonisan alam. Namun yang lebih penting dan sangat disyukuri oleh Dewi Kunthi dan Sang Hyang Antaboga adalah bahwa perkimpoian tersebut telah mengalihkan perhatiannya Bimasena khususnya atas kejahatan Sengkuni dan Korawa yang telah mencelakai para Pandhawa.

Seandainya saja Bimasena tidak berjumpa dengan Dewi Nagagini, tentu saja panas hatinya akan semakin menjilat tak terkendali dan membakar Sengkuni dan para Korawa. Namun syukurlah sebelum semuanya terjadi Dewi Nagagini telah menyiram hatinya dengan kelembutan dan kesejukan. Sehingga malam itu Bimasena tak mampu lagi melepaskan pelukan Nagagini yang menentramkan.


PERPISAHAN


Kebahagian Bimasena juga menjadi kebahagiaan Yudhistira dan adik-adiknya. Tidak seperti yang dikhawatirkan Kunthi, bahwa Yudhistira sebagai saudara sulung akan merasa di langkahi oleh adiknya. Bimasena dan Dewi Nagagini menikmati masa bulan madu yang sungguh membahagiakan. Namun ada saat berjumpa dan ada saat berpisah. Waktu untuk menikmati sebuah kebahagiaan di dunia mana pun tidaklah abadi, bahkan dapat dikatakan terbatas. Demikian halnya dengan pasangan temanten baru Bimasena dan Nagagini.

Mereka boleh puas menikmati waktu bercengkerama yang tidak genap satu tahun. Walaupun begitu, cinta diantara mereka telah membuahkan benih di rahim Dewi Nagagini. Berat rasanya untuk meninggalkan isterinya yang sedang hamil. Namun apa boleh buat tugas sebagai kesatria dan pelindung Ibu dan saudara-saudara berada di atas kepentingan pribadinya. Bahkan sebagai salah satu pewaris tahta Hastinapura, Bimasena bersama Pandhawa berkewajiban berjuang untuk mengembalikan kekuasaan yang sekarang dikuasai oleh warga Korawa. Bagi warga Pandhawa sesungguhnya bukan kekuasaan itu yang ingin dikuasai, melainkan sebagai bukti rasa baktinya kepada rakyat Hastinapura yang mempercayakan tahta Hastinapura kepada putra-putra Pandudewanata. Suara rakyat itulah yang menjadi energi perjuangan untuk meraih kekuasaan.

Dengan alasan itulah Sang Hyang Antaboga menyarankan agar Kunthi dan anak-anaknya, termasuk menantunya segera meninggalkan Kahyangan Saptapratala menuju Hastinapura, untuk menunaikan panggilannya sebagai pewaris tahta.

Pagi-pagi benar, Kunthi, Yudhistira, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa dan juga Kanana seorang abdi dari Panggomabakan ahli membuat terowongan meninggalkan Kahyangan Saptapertala. Perpisahan yang mengharukan antara Dewi Nagagini dan Bimasena tidak dapat dihindarkan. Namun diantara mereka ada janji untuk saling bertemu kembali agar cinta mereka berdua semakin sempurnya adanya.

Mereka diantar oleh Sang Hyang Antaboga dengan pethitnya atau ekornya. Dan tiba-tiba saja mereka telah berada dipermukaan bumi, yang dipanasi dan diterangi oleh matahari. Semakin lama bumi Saptapertala semakin jauh ditinggalkan. Kunthi dan Para Pandhawa menuju jalan ke Hastinapura sedangkan Kanana menuju ke Panggombakan.

Dikisahkan perjalanan Kunthi dan Pandhawa sampailah di sebuah desa yang sangat subur tanahnya. Tetapi ada keganjilan yang dirasakan. Banyaknya rumah kosong tanpa berpenghuni menimbulkan dugaan ada hal yang tidak beres di desa tersebut. Kunthi dan anak-anaknya beristirahat di salah satu rumah besar yang tidak terurus. Rumput liar di halaman depan dan samping rumah mulai tumbuh lebat. Herjuna mengelilingi rumah tersebut, siapa tahu ada orang yang bisa ditanya perihal desa tersebut. Namun tidak ada satu pun orang yang nampak disekitar rumah. Sadewa dan Nakula merengek minta makan. Kunthi kebingungan. Disuruhnya Bimasena dan Harjuna mencari makan di dusun sebelah yang berpenghuni.

Sepeninggal Bima dan Harjuna dari tempat itu, Kunthi memasang telinganya. Alisnya berkerut, menandakan ada sesuatu yang didengarnya.

"Yudhistira ke sinilah, rupanya ada orang di dalam rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang sedang berbicara?"

Yudhistira mengangguk, mengiyakan pendengaran sang ibu Kunthi, bahwasanya di rumah yang tidak terurus ini masih ada penghuninya.

Siapakah mereka dan apa yang mereka bicarakan? Kunthi dan Yudhistira memasang telinga di dinding bambu yang membujur ke belakang rumah.

Bima, sudah jauh meninggalkan tempat di mana Kunthi, Yudhistira dan kembar berada, tetapi belum juga menjumpai seseorang yang dapat dimintai makan untuk kembar adiknya.

Sementara itu sudah beratus langkah Harjuna berjalan belum ada orang yang dijumpai. Harjuna semakin heran. Jika ada perang yang menyebabkan orang di desa ini mengungsi keluar desa, nyatanya tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat perang. Lalu apa yang menyebabkan desa ini seperti mati? Belum lagi Harjuna memikirkan hal lain, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda yang sedang mencari air di sendang.

MAHACINTABRATA III: ARJUNA MENCARI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang