BAGIAN 32. HARAPAN BARU

545 35 3
                                    

Ilustrasi: Warga desa Sendangkandayakan atau Kabayakan sangat beruntung mempunyai Ibu Lurah Rara Winihan, yang mampu membesarkan hati warganya disaat ketakutan menghantui setiap hati. (karya : Herjaka HS 2010)

Tidak seperti biasanya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi, khususnya di rumah kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra belum bangun. Hanya ada dua orang sekabat atau pembantu Lurah yang sedang membersihkan meja kursi di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh, ada satu, dua orang yang mulai berdatangan untuk bertemu dengan Lurah Sagotra.


Sementara itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima mendapat keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang besar dan bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan hidangan istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh). Tentu saja hal tersebut membuat rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak diantara mereka yang secara diam-diam mengungsi ke negara Pancala untuk meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tersebut akibatnya akan lebih mengerikan.


Sejak diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para perajurit. Tetapi jika tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok negeri bagaikan desa mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.


Para pengungsi yang ketemu Bima di sore itu adalah mereka yang mengambil langkah untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.


Namun ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum beruntung. Walaupun telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat untuk dapat lolos dari pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih banyak daripara pengungsi, mereka membawa senjata lengkap yang siap merajam atau jika memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan kepada Prabu Dwaka.


Melihat dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat di negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan banyak waktu untuk melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang mampu mengimbangi kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela lari ketakutan.


Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yang telah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.

MAHACINTABRATA III: ARJUNA MENCARI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang