BAGIAN 18. ANTARA HIDUP DAN MATI

542 27 0
                                    

Ilustrasi: Dengan merdunya Cantrik tua yang sedang jaga melantunkan tembang Dhandhanggula (karya Herjaka HS 2008)


Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.

Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.

Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.

Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.


Ana kidung rumeksa ing wengi

ngreksa jiwa nala ingkang papa

ingkang ringkih sakabehe

saking rasa kumingsun

ngongasake diri pribadi

ngegungake priyangga

kebak watak umuk

tan gadhah ambeg welas

marang sapada-padhaning dumadi

tan purun angalaha


Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya

Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.

Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.

Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.

MAHACINTABRATA III: ARJUNA MENCARI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang