Kisah Dalam Lagu

486 133 333
                                    

Langit mendung menemaniku siang ini. Terduduk diam diatas ayunan lusuh yang sudah berkarat namun masih sanggup menahan bobot berat badanku.
Aku hanya sekedar duduk, sama sekali tak ada niatan untuk mendorong kaki dari pijakan tanah ini. Lagipula kakiku sudah tak sanggup — terlalu lemah — setelah perjalanan jauh yang kutempuh sebelum akhirnya berakhir ditempat ini.

Samar-samar percakapan siang tadi masih terus berputar dikepalaku, dan itu mengganggu diam ku saat ini. Alasan yang membuat muak, dan tentunya membuatku kembali menyendiri seperti ini.

Aku sudah mencoba berjalan, sejauh mungkin dengan harapan aku bisa melupakan topik pembicaraan sahabatku disekolah tadi.
Lalu kenapa, aku berakhir lagi ditempat ini? — Seolah ini tempat persinggahan akhir setiap aku dihadapi pembicaraan tentang 'orang itu'.
Seperti tak ada tempat lain, nyatanya kaki ini tidak pernah membawaku pergi ketempat lain, selain tempat ini!

'Lupain, Kinar! Ga ada gunanya juga menunggu yang tidak pasti.'

Aku sempat berfikir jika mereka bukan teman yang baik, yang tidak menyemangatiku, tidak mendukung sepenuhnya apa yang sudah aku pilih sejak lama — dan malah menyuruhku menyerah.
Melupakan semuanya.

'Kasihan kamunya, aku ga mau kamu selalu sedih, menunggu orang yang sama sekali ga peduli sama kamu.'

Pada akhirnya aku mengerti bahwa setiap ucapan mereka, pemaksaannya untuk menyuruhku menghapus 'dia' yang tak ada dipandanganku — adalah bentuk dari kekhawatiran mereka terhadap temannya yang bodoh ini.

'Hati kamu, ga pantas untuk dia yang sudah meninggalkan kamu.'

Dan itu kalimat 'keramatnya' !
Kalimat sederhana, mudah diucapkan oleh sahabatku, namun sulit direalisasikan dan malah menusuk jantungku begitu dalam. Rasanya aku ingin menangis saat itu juga, tapi akan memalukan rasanya jika air mata sialan ini turun dihadapan mereka.

Angin berhembus, menggugurkan daun-daun kering dari batangnya dan terbang begitu saja. Air mataku mengering, dan setelahnya tidak ada yang jatuh lagi.

- Pada akhirnya daun akan berpisah dari batangnya setelah sekian lama mereka bersama. -

Ku angkat sedikit kepalaku yang tertunduk sejak tadi, lalu menoleh ke kiri.
Tidak ada siapa-siapa disana, padahal dulu sosoknya selalu duduk di ayunan sebelahku.

Aku masih ingat, 10 tahun yang lalu ayunan besi ini masih bagus. Warnanya terang dan masih kokoh. Tiang penyangganya pun kuat tanpa karat.
Kemudian seiring waktu berlalu, sepasang ayunan ini mulai berubah usang. Ayunan tua yang mulai reyot, tak menarik lagi dan berkarat akibat cuaca pancaroba yang kerap menghunusnya, membuat warna terangnya mengelupas.

Tidak banyak orang yang mau bermain atau sekedar duduk disini. Mereka lebih memilih bermain di ujung sana — tempat dimana ada ayunan baru yang lebih bagus.

Aku masih menunggunya ditempat ini, meski kutahu mungkin dia lebih memilih datang ketempat di ujung sana jika dia memang benar ada di taman ini.

Mungkin itu lebih baik — mungkin juga tidak.

Aku menyukai saat-saat aku menyendiri dan bebas mengekspresikan segala emosi yang kurasakan — saat menunggunya!

Kuambil ponsel, memasang earphone dan mendengarkan sebuah lagu. Sebuah lagu, yang mengingatkanku, padanya..

~ Sebelumnya tak ada yang mampu . .
Mengajakku untuk bertahan di kala sedih ~

Umurku masih 7 tahun. Terlahir sebagai anak dari dua orang berbeda sifat. Mungkin karena perjodohan dalam pernikahan mereka, maka tak ada cinta, sehingga mereka tidak membesarkanku bersama. Itulah mengapa aku sering menyendiri.

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang