Senin pagi cerah, terlepas dari beberapa hari sebelumnya yang terus diguyur hujan. Bekas genangan air masih tersisa, bau tanah basah terasa begitu menyegarkan bersamaan dengan sinar mentari pagi. Suasana yang bagus untuk menyapa tahun ajaran baru.
Seorang bocah lelaki berseragam putih merah turun setelah mobil terparkir sempurna di depan gedung sekolah, diikuti dengan wanita dewasa berkerudung yang keluar dari pintu kemudi. Mendekati trotoar, si wanita membungkuk sekedar merapihkan seragam anak lelaki itu.
"Gimana? Siap buat sekolah?"Anak itu menyahut lantang. "Siap Ma!"
"Baik-baik sekolahnya, ya? Dengerin apa kata guru. Nanti Mama jemput lagi, oke?"
Sang anak mengangguk, kemudian atensi nya teralih barengan dengan sang Ibu, melihat ke arah mobilnya. Satu anaknya lagi belum turun, masih memandang ragu bangunan sekolah dari dalam mobil.
"Nak... "
"Enggak Ma," balas si anak di dalam mobil dengan raut memelas. Sejak di rumah dia memang merengut menolak untuk pergi sekolah.
Tersenyum lembut, sang ibu mendekat ke anak itu. "Apa yang enggak?" Suaranya tak kalah lembut dari senyum yang diulas.
"Inu gak mau sekolah. Kak Pani bilang Inu bandel dan gak pinter, nanti bakal sering diomelin guru. Nanti juga gak ada yang mau temenan sama Inu," keluh bocah yang belum genap 7 tahun itu.
Si Ibu terkekeh, bahkan beberapa orang tua murid yang kebetulan lewat dan mendengar ikut terkikik pelan atas perangai menggemaskan anak itu.
"Kan ada Danu," kata Ibunya. Anak yang dimaksud mendekat ke saudaranya dengan meyakinkan.
"Ada aku Inu, sama Raisa juga," sahutnya nyaring.Tetap saja itu tak menyurutkan ketakutannya. Dia masih menolak keluar dari dalam mobil, meski banyak bujukan telah terlontar.
"Enggak. Gamau. Inu gamau sekolah. Inu mau pulang aja."Akhirnya si Ibu menyuruh Danu untuk masuk lebih dulu ke sekolah, yang tanpa berpikir panjang langsung diturutinya. Ibu itu kembali berkutat dengan anak kembarnya yang satu lagi, masih berusaha membujuk.
Sampai kemudian perhatian mereka teralih pada sepasang ibu-anak lain yang berhenti tak jauh dari keberadaan mereka.
"Kamu yakin cuma mau diantar sampai sini aja?" tanya sang Ibu yang tampak muda itu.
"Iya bu," balas anak perempuannya.
"Tau kelasnya dimana? Berani masuk ke dalam sendiri? Gak apa-apa?"
"Gak apa-apa Bu."
"Pintar banget sih, Kinar. Yaudah, persiapan sekolahnya udah siap kan? Ada yang kurang gak? Kamu bawa bekal?"
Berbeda dengan Ibu muda yang berkata antusias, si anak bicara hanya seperlunya saja, meski tetap sopan. "Kinar masuk ya Bu."
"Oh, Oke." Ibu muda itu agak gelagapan sekilas. "Belajar yang benar ya Kinar."
Lalu setelah mencium tangan, gadis kecil itu berjalan menuju gerbang diiringi tiga pasang mata. Sadar diperhatikan, si Ibu muda mengalihkan pandangan ke Ibu si kembar. Keduanya saling tersenyum ramah.
"Anaknya kelas berapa Bu?" sapa Ibu si kembar.
"Baru masuk sekolah Bu."
"Baru masuk juga? Wah, pintar ya anaknya, berani masuk sendiri di hari pertama sekolah."
Wanita muda itu tersenyum kecil. "Iya, namanya Kinar. Anaknya emang mandiri. Tadi malah dia nolak diantarin saya, Ibu nya gak bisa antar soalnya." Kemudian dia beralih sekilas melihat si bocah didalam mobil. "Anak Ibu juga mau sekolah? Kelas berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Swing Memories
Fiksi Remaja[COMPLETE] . . Itu hanyalah sepasang ayunan tua. Tak berguna, tak terawat, tak begitu menyenangkan. Tapi bagi Kinar, itu adalah sepasang ayunan. Tak ada kata 'tua' yang menghalangi senyum, karena benda tua itu saksi bahwa Kinar pernah tersenyum. Sep...