Hurt

219 97 198
                                    

Ini diluar dugaan.

Kufikir Wisnu hanya membual dengan ucapannya kemarin tentang melakukan-hal-hal-yang-sering-kami-lakukan-dulu. Ternyata tidak.

Wisnu datang lagi keesokan harinya.

Dengan senyum manis duduk di ayunan dan agak membuatku tercengang. Saat aku mendekat, dia memberiku sebuah ketapel.

"Ini mainan yang sering kamu mainin dulu. Kinar si penembak jitu. Suka ngambilin mangga dibelakang sekolah, masih ingat?"

Kemudian hari selanjutnya datang lagi.

"Bola kasti?" ujarku bingung.

"Iya! Kalau dulu kamu suka pakai bola kertas buat main lempar tangkap. Sekarang kita main pakai bola kasti. Ayo, Kinar!"

Dan hari berikutnya.

"Hallo Kinar!"

"Wisnu?"

Dia seperti tak sadar raut terkejut ku dan ceria seperti biasa.

"Pohon ceri yang dibelakang taman masih ada gak ya?" tanya Wisnu.

"Kenapa emang?"

"Kita main kesana yuk! Dulu kamu sering ngambilin aku ceri karena aku ga bisa manjat pohon. Sekarang gantian, aku bakal ambilin banyak ceri buat kamu," sahut Wisnu

Terus seperti itu. Berturut-turut, tanpa memberitahu padaku jika dia akan datang esok dan keesokannya lagi. Seperti kejutan, dia terus datang dengan kenangan lama yang ingin diulang kembali.

Kami bermain lagi. Mengisi kembali apa yang sempat terhenti selama Wisnu pergi. Melakukan banyak hal. Dipenuhi senyumannya. Bersama. Dan itu tanpa melewatkan satu hari pun. Sampai akhirnya mencapai sepekan. Wisnu seakan tak bosan bermain seharian denganku.

Apa ini keajaiban? Matahari yang kufikir tak akan datang lagi menyinari hatiku, sekarang terus hadir dan memenuhi senyum untukku.

***

PRAKK!

"Kinara Nadhifa."

Penutup Jumat disekolah yang agak menyebalkan. Dua gadis itu tiba-tiba datang dengan tersenyum, tanpa merasa bersalah setelah mengejutkanku dengan pukulannya di meja.

Aku melirik keduanya tanpa minat. "Guys, ini perpustakaan. Jangan berisik kalau gak mau diusir dari sini."

Keduanya masih tersenyum menahan tawa — mungkin geli saat melihatku yang sempat terkejut tadi — jadi aku memutar bola mata malas.

"Menyebalkan ya? Ide Riri tuh," ungkap Shinta terkekeh.

Sudah kutebak. Siapa lagi Putri jahil diantara kami kalau bukan Riri.

"Haha, oke-oke. I'm sorry, Angel! Lagian serius banget bacanya. Dari tadi kita nyariin kamu tau," tukas Riri pelan.

Aku menyahut malas. "For your information, aku gak pernah mengganti nama sejak lahir." Lalu beralih lagi pada buku.

Julukan Angel — tak begitu buruk tapi aku tidak menyukai panggilan seperti itu. Angel terkesan untuk nama orang-orang sempurna — dan aku menolak menyemat nama itu.

Kali ini aku tak begitu kesal seperti biasanya dijahili Riri.
Oh ayolah, aku sedang sibuk menerka apa yang akan Wisnu lakukan hari ini saat aku sampai di taman.
Riri perlu berterima kasih pada Wisnu yang telah merubah mood ku hingga tak begitu rusak hanya dengan candaan kecil.

"Dia ga baca Ri." Ujaran Shinta membuat Riri ikut memperhatikanku lebih seksama.

Menyadari keduanya memperhatikan ku, aku lekas mengangkat pandangan dan menutup bukunya.
"Kenapa?"

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang