Be A (Really) Friend ?

239 102 205
                                    

Menyesakkan!
Rasanya lebih buruk dibanding ditinggal Wisnu 10 tahun yang lalu. Aku bahkan terhalang untuk tersenyum, karena apapun yang ada dipikiran ku tak akan jauh dari kejadian dua hari yang lalu.

"Serius, kamu ketemu dia?"

Shinta tampak terkejut. Setelah bertemu Wisnu, dan membuatku sempat benar-benar terpuruk dua hari belakangan ini, akhirnya aku memutuskan menemui Shinta.
Aku menyerah — untuk kali ini aku sama sekali tak bisa menanggung nya sendirian.

"Hmm.."

"Dimana? Kok bisa? Terus gimana? Dia ingat kamu gak?"

Jauh dari perkiraanku, gadis itu begitu antusias menanyakan lebih jauh. Beda denganku yang menyembunyikan kesedihan dibalik wajah tak acuh.

"Hmm..."

"Iya? Wah, syukurlah kamu ketemu dia lagi! Akhirnya penantian kamu tidak sia-sia, Kinar. Kalian bisa bareng-bareng lagi kayak dulu."

Seandainya yang kamu bilang itu benar, Shin, mungkin aku sama bahagianya dengan kamu. Tapi sekarang aku tidak tahu apakah harus bahagia atau sedih. Pertemuanku dengan Wisnu dua hari lalu membawa bahagia sekaligus luka. Bahkan saking terlukanya, aku merasa ingin menyerah. Jika aku mengatakan itu, apa kau akan meledekku Shin?

"Shinta, kayaknya aku mundur. Aku gak mau ketemu dia lagi," gumam ku kecil.

Aku sudah menerka bagaimana ekspresi kamu saat mendengar keputusanku.

Shinta, kamu sahabatku kan? Ku mohon, hatiku sudah mati dan aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Jadi jangan marah karena pernyataanku ini.

"Kinar, kamu ngomong apa sih?"

Tapi rasanya kamu berhak marah Shin! Selama ini kamu menyuruhku berhenti mengharapkan dia, memintaku untuk membuka hati dan tidak terpuruk dengan masa lalu. Tapi aku mengabaikan saranmu. Aku lebih menuruti kata hati yang percaya jika Wisnu akan kembali.
Dan setelah lama penantian itu, Wisnu benar datang. tapi keputus-asaan juga datang setelah aku melihatnya.

Bukankah sahabatmu ini bodoh? Sebelum orang itu datang, sahabatmu ini sesumbar mengatakan bahwa ia akan menunggu cintanya, memperjuangkannya. Lalu sekarang, setelah bertemu, malah menyerah begitu saja.

"Maaf! Aku bodoh.. Aku gak tahu lagi bagaimana cara untuk bertahan. Tadinya aku fikir, tidak akan jadi masalah setelah bertemu Wisnu kalaupun dia tak membalas perasaanku. Tapi, kenyataannya tidak. Ternyata sulit melihat Wisnu dengan orang lain. Jika sekarang saja aku sudah merasa sakit, bagaimana nanti saat kami berteman seperti dulu?
Janjinya adalah untuk selalu ada di sisiku. Tapi jika sebagai sahabat, dengan dia membawa gadis lain di sisinya juga, itu bisa jadi buruk. Bukan kah lebih baik aku mundur?
Lagipula aku sudah cukup punya kamu sebagai sahabat. Aku tak mau menambah lagi."

Shinta tak membalasku, dia hanya diam menatapku lurus.

"Aku. . . egois ya?" tanyaku pelan, menunggu Shinta membuka suara. Tapi Shinta tetap saja diam, memandangi sahabatnya yang bodoh ini.
"Benar! Aku sangat egois jika melarangnya menjadi sahabatku," tambahku menunduk.

"Kalau sadar itu egois, kenapa kamu melarangnya? Kinar yang aku kenal bukan orang yang egois. Lagipula kamu sendiri yang bilang, tingkatan tertinggi dari hubungan sosial adalah persahabatan! Harusnya kamu sadar, kamu adalah seseorang yang berarti baginya karena telah menjadi sahabatnya sejak kecil," ujar Shinta.

"Tapi . . ."

"Apa?! kamu tidak mau bertemu dengannya karena dia tidak menyukai kamu? Kamu tidak mau menjadi sahabatnya karena dia tidak membalas cinta kamu? Sekarang aku tanya, memang dia mengusir kamu dari hidupnya yang punya pacar itu?" Ucapan Shinta menohokku begitu tajam.

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang