Better

242 76 191
                                    

Aku memang ke toilet, tapi untuk termangu dalam bingung. Katakan saja aku sedang menghindar dari situasi mengejutkan tadi, sampai aku perlu waktu untuk beradaptasi. Jadi aku mengulur banyak waktu, setelah dari toilet malah bertolak melihat kantin, menyusuri koridor kelas, dan berhenti di salah satu ruangan.

Tempat-ku bertemu Wisnu pertama kali. Bangku ketiga di barisan dekat pintu.
Aku kembali duduk disana. 

Aku tak percaya akhirnya menginjakkan kaki lagi disini. Dengan bodohnya selama ini selalu memalingkan diri padahal sekolah ini dekat dari jangkauan-ku — terlalu larut termakan ketakutan sendiri. Kini aku rindu para guru, aku rindu mengamati papan tulis kapur yang telah berganti jadi spidol, dan hal paling tak kupercayai — aku rindu keramaian yang mengabaikanku disini.

Beberapa di ruangan ini tampak sama, tapi beberapa nya lagi berbeda. Itu menyadarkanku satu hal; meski Raisa dkk masih sama, bukan berarti tidak ada yang berbeda. 

"Benar, gak ada seorang pun yang gak pantas jadi teman. Bahkan yang terburuk sekalipun masih punya teman," gumamku pada diri sendiri.
"Kamu bukan gak punya teman Kinar, kamu cuma berdiri pada pandangan yang salah." 

'Dan disini salah, kamu sendirian. Padahal kamu ditunggu disana.'

Aku tersentak, menoleh, menemukan bayangan Wisnu kecil duduk di sebelahku. Bukan, itu bukan bagian memori masa lalu. Itu imajinasiku. 

Aku memandang sebentar sambil mengerjap, baru mengulas senyum tipis.
"Makasih Wisnu. Kamu gak pernah pergi dari sini," kataku, ingat dulu dia tidak menolak disuruh duduk bersamaku, hingga kelas 2 dan 3 masih memilih duduk denganku. Berusaha berteman.

'Itu kan janji ku?' balasnya tersenyum.

Lalu aku sadar sesuatu. Iya, Wisnu tidak pernah pergi. Hanya raganya yang hilang, tapi bayangan dan kenangannya selalu menemaniku selama ini.

Bayangan Wisnu kecil berdiri.
'Ayo Kinar, gak baik loh bikin teman nunggu.' Dia mengadahkan tangan padaku.

Kutatap tangan itu, perlahan menaruh tanganku diatasnya namun tembus. Aku melihat wajahnya tersenyum sebelum hilang, tapi aku serasa diberi keberanian untuk berdiri dan melangkah. 

Memasuki lapangan, langkahku melambat dengan pandangan tertuju ke panggung. 

Asal tahu saja, sejak tadi si kembar sudah diminta naik panggung untuk sekedar memberi kata-kata atau hiburan. Danu sudah perform tadi, sementara Wisnu menolak keras. Kukira karena dia memang tidak bisa menyanyi seperti Danu. Tapi sekarang, pria itu duduk diatas panggung memangku gitar. Bernyanyi. 

Aku tidak salah lihat kan?

'Rasa ini tak kenal kadaluarsa
'Tak perlu selamanya, cukup sampai ujung usia
'Lewati susah senang pantang menyerah

Pria itu melihat ke arahku.

'Karena aku menyayangimu.. Tanpa karena ~

Sadar Kinar. Jangan berdebar.

.
.

Memasuki petang beberapa alumni yang tergabung sebagai panitia reuni mulai membereskan sisa acara. Danu dan Wisnu sukarela membantu, dan sialnya aku ikut tertahan disini karena Wisnu dan Farel menahanku pulang.

Atau mungkin tidak sial?
Aku tidak sendirian lagi meski Wisnu dan Farel ada di bagian lain, membongkar peralatan panggung. Aku kebagian membereskan lapangan bersama gadis-gadis tadi, masih banyak diam memilih jadi pendengar. 

Walau aku sering dengar cerita-cerita bersama Shinta dan Riri, tapi disini feel nya berbeda. Rasanya menyenangkan.

"Jadi beneran kamu gak pernah pacaran sama Farel?" tanya Nayla. Aku menggeleng.

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang