Sepasang Ayunan

312 118 235
                                    

Rutinitas Senin adalah hal yang paling tidak bisa kuhindari. Memulai pagi disekolah dengan upacara, menghadapi dua macam pelajaran hitung-hitungan dan satu pelajaran penuh hafalan, ditambah harus menghadiri pertemuan rutin ekstrakulikuler setelah bel pulang berbunyi. Benar benar menyibukkan, bukan?

Hari ini lebih sibuk dari biasanya. Setelah menyelesaikan tugas laporan penelitian tentang metamorfosis hewan seorang diri — padahal ini adalah tugas kelompok —, aku diminta membuat konsep mentoring kegiatan klub bahasa.

Maka disinilah aku sekarang. Jam tiga sore, duduk lemas di kantin dengan kepala jatuh ke meja. Rasanya isi kepalaku kosong, setelah dikuras habis untuk berfikir seharian ini.

"Kinar!"

Panggilan lembut dari seseorang yang kukenali masuk di pendengaran ku.
Dengan malas aku mengangkat kepala dan berbalik hadap — merebahkan kepalaku ke sisi satunya lagi.

Bersamaan dengan Shinta yang ambil posisi duduk di sebelahku, lalu menempelkan sebuah minuman dingin di dahiku.

"Biar dingin. Kasihan otaknya, di pakai kerja terus jadi panas," ujar Shinta.

Aku terhenyak dengan ucapan Shinta. Tanpa sengaja teringat kembali kejadian di masa lalu. Aku duduk di ayunan, dalam kondisi lelah setelah mengajarkan seseorang yang bebal matematika, dan dibawah terik. Sinar matahari seperti berada di puncak kepalaku, memusingkan tapi tak membuatku beranjak dari ayunan. Lalu tiba-tiba bayangan hitam di atas kepalaku terbentuk ditanah, bersamaan dengan rasa panas yang terasa memudar. Aku mendongak dan pandanganku terhalang sebuah tas di atas kepalaku.

"Supaya cepat dingin, jadi aku halangin. Kasihan otaknya.. Dipakai mikir terus, kena matahari pula."

Dan itu Wisnu.

"Kenapa?" tanya Shinta, menghentikan lamunanku.

Aku mengerjap. "Enggak." Aku mengambil alih minuman yang ditempelkan Shinta.

"Jam segini masih di sekolah ngapain?" tanyaku dengan suara serak.

"Habis ngurus OSIS. Banyak banget list murid yang melanggar aturan bulan ini," jawab Shinta jengkel. Memasuki akhir bulan memang menjadi hari-hari menyibukkan bagi anggota OSIS.

Aku tersenyum kecil melihat ekspresi Shinta yang tampak kesal itu.

"Riri mana?" tanyaku lagi.

Shinta dan Riri memang sama-sama anggota OSIS sejak kelas 10, dan kembali mengikuti organisasi itu kelas 11 ini. Tidak denganku yang lebih memilih menjadi siswa biasa tanpa kepopularitasan seperti Shinta, Riri atau anggota OSIS lainnya.

"Riri gak ikut kumpul. Dia sibuk ngurus persiapan ulang tahunnya."

Aku sedikit terbelalak. "Ulang tahun Riri kan masih sebulan lagi?"

Shinta mengekeh pelan. "Jadi itu sahabatnya siapa? Ulang tahun masih lama, sudah diributin dari sekarang."

"Kamu kali," cetusku asal. Lalu meminum minuman yang diberikan Shinta tadi.

Shinta tentu saja terkekeh. Sikapku yang cuek dan sikap Riri yang berlebihan benar-benar berbanding terbalik. Kadang aku tak menyukai yang dilakukan Riri, dan Riri selalu mengomentari sikap dan sifatku. Tapi kami saling menghargai dan menyayangi. Shinta adalah si netral sebagai pelengkap persahabatan kami.

"Ada banyak yang perlu dia siapin katanya. Konsep, tema, tempat, catering, undangan. Yahh.. Buat orang se-perfeksionis macam Riri, semua tuh harus disiapin jauh-jauh hari, biar sempurna seperti keinginannya." Seperti biasa, Shinta berperan sebagai penetral yang bijaksana. "Kamu kayak baru kenal dia aja," tambahnya di akhir kalimat.

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang