Reuni

190 78 177
                                    

"Yuk!" Sebelah tangan Farel terulur padaku.

Ini kenapa aku ga suka Farel kalau lagi mode serius. Mulutnya bahaya, sampai berhasil meracuni otak ku.

Fikiranku berkecamuk, gambaran para guru yang dulu sering memperhatikanku terputar dalam ingatan. Membuat kerinduan itu muncul.

Aku bisa mengarang seribu alasan untuk menghindari kawanan sekolah dasarku, tapi harusnya aku tidak boleh membuat satu alasan pun untuk menemui guruku.

"Minggir!" Aku berjalan mengabaikan tangan Farel. Tuhan, semoga keputusan ku benar untuk melangkah sambangi acara itu.

Farel mencebik gemas lantas merangkulku saat sejajarkan langkah. "Astaga, cowok ganteng diabaikan." Dia kembali ke mode Farel sesungguhnya.

Langkahku mantap di awal namun ragu saat sebentar lagi mencapai gerbang. Apa aku bisa melewati gerbang itu lagi? Setelah dulu aku selalu berharap untuk cepat-cepat mencapai masa dimana aku tidak akan kembali lagi?

"Kenapa?" Farel berhenti karena aku berhenti.

Gedung itu mimpi buruk. Meskipun disana tempat aku bertemu cinta pertamaku, tetap saja aku menghindari gedung itu. Kenapa? Alasannya karena mereka.

Atensiku menemukan sekumpulan gadis yang berbincang ria di area parkir. Entah itu menjadi semacam fobia atau apa — setiap melihat pelajar perempuan di gedung ini, aku tidak pernah mendekat. Padahal yang kulihat belum tentu orang orang di masa laluku.

Tapi mereka? Meskipun tak mengingatnya, aku yakin kalau mereka bagian dari reuni. Bagian dari masa laluku.

Apa aku harus kesana?

"Iya lah!" Farel menyahut, membuatku menoleh bingung. Tak sadar kalau aku menyuarakan pikiran barusan.

"Apa?"

Farel mengarahkan dagunya ke arah gedung, "Kesana, ayok! Lelet nih cewek." Begitu saja Farel menarik tanganku.

Baru beberapa langkah memasuki gerbang, nama Farel di serukan dari arah parkiran. Mau tak mau aku berhenti karena Farel berhenti. Refleks ikut menoleh bersamaan dengan Farel.

Empat orang gadis berjalan mendekati kami.

"Rel, Dino mana?" Yang paling tinggi bertanya. Aku sedikit mengenalinya sebagai andalan basket di masaku dulu, kalau tidak salah, Firda.

"Lah? Yang ganteng ada disini kenapa masih nanya yang lain?" Farel berkedip genit, aku melihatnya jijik. Tapi anehnya empat gadis itu malah terkekeh seakan itu lelucon.

"Ngapain juga nanyain kamu selagi aku punya pacar." Firda membalas setengah tertawa.

Mereka dan Farel bergurau sebentar, mengacuhkanku. Entah itu sengaja atau memang lupa denganku. Alasan yang masuk akal sih, karena aku juga lupa mereka kecuali si Firda itu.

Gadis di sebelah Firda akhirnya merespon keberadaanku. "Siapa?" tanyanya pada Farel, dagunya digendikkan padaku.

Farel menoleh — terkesiap, lalu menarikku selangkah lebih maju karena tadi aku sempat mundur selangkah saat mereka bergurau. 
"Astaga, maaf Kinar aku lupa ada kamu." Lalu Farel memperkenalkan kami. "Ini Kinar. — Kinar, ingat mereka? Firda, Jenni, Lolita, Gista."

Tadinya tidak, sebelum Farel memberi tahu mereka satu-satu. Kecuali Firda, tiga gadis ini dulu siswi yang terang-terangan memojokkan ku saat sekolah, dengan tiga temannya lagi.

"Emangnya siapa?" tanya Gista bingung.

"Yah pikun," ujar Farel santai. "Kinar, anak SD juga. Pacar aku dulu kalau kamu masih gak ingat juga."

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang