To The Answer

182 80 166
                                    

Rasakan aku. Katakan padaku. Mencintaiku. Meskipun terlambat.

----------------

Jemariku mengetuk pelan diatas meja, kepalaku jatuh diatasnya dan pandanganku fokus tertuju pada gelombang air dalam gelas yang tercipta akibat ketukan itu. Seperti orang bodoh, aku menghabiskan satu jam hanya untuk bermain-main dengan gelombang air di lemon ice pesananku.

Jendela besar di samping kanan — yang biasanya menjadi sudut pandang favoritku tiap kesini karena mengekspos segala aktivitas luar kafe — rasanya kini tak cukup menarik. Aku terus menatap objek yang sama, yang sebenarnya, sedang melamun.

Rasanya ada sesuatu yang mengganggu fikiranku, namun entah apa. Aku menebaknya karena gusar yang menyelimuti perasaanku belakangan ini. Untuk beberapa alasan, kufikir itu karena aku sakit. Tapi kini aku sudah pulih dan gusar itu tetap ada. Ku ingat lagi sesuatu yang mungkin penyebab atas rasa gusar itu, tapi tak dapat ide sama sekali. Otakku seperti blank beberapa belakangan ini.

Beberapa hari aku absen sekolah hingga tak ingat pasti ini hari apa. Selama itu aku tak keluar rumah, tak bertemu teman, tak berkomunikasi dengan mereka — dan aku tak mengerti kenapa seperti itu. Ini hanya demam, tapi aku seperti mengisolasi diri dari dunia luar beberapa hari itu. Dan seperti orang linglung.

Aku masih mencoba menguraikan ingatan sampai perhatian ku teralih karena getar ponsel.

'Tunggu disana! Aku akan kesana sebentar lagi.'

Dari Shinta. Aku mengernyit sejenak, menoleh ke luar jendela karena berfikir Shinta melihatku dari luar, lalu meletakkan ponsel itu lagi karena tak menemukan apapun. Mungkin Shinta salah kirim. Kujatuhkan kepala di atas meja dengan menghadap kanan, namun tak lama tegak lagi karena merasa baru saja melihat sesuatu. Dan benar, kursi dihadapanku sekarang sudah ditempati seseorang.

Meski kepalanya menyamping hadap jendela, tentu aku masih mengenal orang ini. Sorotku datar tanpa reaksi, sampai lelaki itu menoleh padaku lalu mengambil minuman satu-satunya di meja kami dan menyesapnya.
Tiba-tiba aku merasa gugup tanpa alasan jelas.

"Ya Tuhan, asam banget." Robby meringis sebentar.

Ya, karena itu Robby, kurasa aku tak perlu berlebihan menanggapinya sampai merasa gugup.

Mengabaikan apapun pemikiranku, kualihkan pandangan ke luar jendela. Sekarang tak ada lagi gelombang air yang bisa kunikmati untuk dilihat.

"Hai, Kinar." Robby menyapa, dan lagi, tanpa alasan jelas aku merasa tak nyaman.
"Ada yang menarik di luar?"

Sebenarnya tidak ada, aku hanya melihat asal sembari berfikir apa yang tepatnya sedang menggangguku akhir-akhir ini, namun hasilnya tetap saja nihil. Sama sekali tak membantu. Keberadaan Robby malah membuat memori ku hitam seluruhnya.

"Hei, daripada lihat kekacauan di luar, kenapa gak lihat aku saja? Gak sayang apa kalau wajah ganteng ini di anggurin?"

Dalam sepersekian detik, aku merasakan gugup lagi. Astaga! Ini bukan karena Robby kan? Aku mengenyahkan apapun reaksi aneh ku saat ini. Ayolah, ini hanya Robby! Sikap menyebalkan itu memang sudah menjadi bagian dari dirinya setiap bertemu denganku.

"Ngomong-ngomong, ini masih jam sekolah kan, Kinar?" Suara Robby terdengar lagi. Dan sekarang aku merasa suaranya itu menjadi masalah. Entahlah, mendengarnya makin membuatku risih karena gugup.

"Menurutku, bolos itu bukan hal yang baik. Benar gak?"

Sial! Aku tidak bisa menghiraukan risih itu hingga aku menggaruk rambutku sebelum menghadap padanya.

"Ada apa?" Aku menekan jengkel bulat-bulat dan bertanya tenang. Tidak lucu kalau tiba-tiba meledak dengan alasan suaranya menggangguku.

Robby mengerling, "Gak kok." Dan itu makin membuat jengkel. Tapi kalimatnya ternyata tidak sampai situ.
"Aku cuma kebetulan lihat kamu, dan kayaknya hal terakhir yang kutanyakan bisa aku minta jawabannya sekarang."

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang