Confession Park

231 91 145
                                    

Aku meremas kedua tanganku. Rasa gugup itu bahkan belum pergi sejak pulang dari pesta Riri — karena terus teringat pesan Shinta untuk meminta maaf pada pria yang membonceng ku saat ini. Berkali-kali aku mengangkat tangan hendak menepuk pundaknya, namun sama sekali tak berhasil. Tanganku berat hanya untuk mendarat di pundak Wisnu.

"Langsung pulang, Kinar?"

Dengan cepat kutarik tanganku dan kugenggam erat, terlalu terkejut dengan Wisnu yang bertanya tiba tiba.

Diam sebentar, aku meringis hebat sambil memejamkan mata. Demi apapun, aku tak pernah terjebak perasaan gugup sebesar ini. Aku menggigit bibir bawahku pelan, berharap bisa menetralkan rasa gugup berlebih ini, kemudian berusaha berkata santai.
"Didepan ada taman, tolong berhenti sebentar disana!"

"Taman? Oke!"

Dan setelah itu aku bisa bernafas lega.

Wisnu menghentikan motornya diparkiran taman, sementara aku langsung turun dan berjalan menuju pintu utama. Berhenti tepat ditengah-tengah pintu utama taman ini.

Matahari sudah sepenuhnya hilang, dan penerangan taman telah terganti oleh macam macam lampu taman yang mengelilingi sekitarnya. Dari tempat ini, aku menaruh perhatian pada keberadaan ayunan favoritku yang hanya diterangi satu lampu taman sederhana.

"Ada janji sama orang?" tanya Wisnu yang sudah ada di sampingku.

Masih dalam keterpakuan, aku tak merespon. Mataku tetap fokus menatap antara keberadaan ayunan dan gedung besar di sebrangku sekarang.

"Kalau begitu aku tunggu di warung sana, Kinar. Nanti kalau sudah selesai, panggil saja," lanjut Wisnu lagi, tangannya menunjuk tujuannya sebelum berbalik dan melangkah.

Sadar, aku buru-buru menghadap kearahnya, dan dia berhenti.
"Kenapa, Kinar?"

Lagi-lagi aku didera gugup berlebih ketika menghadapnya.
"Mau... jalan-jalan?" Akhirnya, aku berani mengatakan kata-kata itu.

Untunglah Wisnu tak melihat kegugupanku. Dia mengangguk pelan dan kami mulai berjalan menapaki rute taman dari sisi barat. Hening beberapa menit, kecanggungan diantara kami jelas terasa dan aku tak tahu harus memulai pembicaraan apa dengannya.

Sebenarnya, aku tidak tahu apa Wisnu juga merasa canggung atau tidak. Tapi dari sikap dan gelagatnya, kulihat dia biasa saja. Pria itu terus mengedarkan pandangan menikmati pemandangan malam taman.

"Aku tak pernah datang kesini jika malam." Wisnu memecah keheningan. "Ternyata taman lebih menarik dilihat saat malam."

Aku ikut mengedarkan pandangan, dan setuju dengan Wisnu. Aneka lampu taman berbagai macam bentuk dan waran di sisi barat ini benar-benar memperindah. Tapi sayang, lampu seperti ini tidak mencapai tempat ayunan favoritku di sisi timur - yang hanya diterangi lampu taman biasa dengan warna kuning redup.

"Kamu pernah kesini malam-malam?" tanya Wisnu. Aku mengangguk, ya, beberapa kali pernah. Kalau sedang galau. Entah Wisnu melihat gelenganku atau tidak, aku tak peduli.

Kami melangkah benar-benar santai, bisa dikatakan pelan, seolah ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk mengitari satu putaran taman ini. 
Dan aku menikmatinya. Berjalan bersama seseorang yang berarti, diiringi lampu taman dan hembusan angin kencang.

Eh, angin kencang?

Aku mendongak lihat langit.
"Kayaknya mendung."

Wisnu melihatku lebih dulu baru ikut lihat langit. "Benarkah? Kalau begitu kita harus cepat pulang sebelum hujan."

A Pair Of Swing MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang