Kita bertemu di waktu yang singkat, tapi kenapa kita berpisah dalam waktu yang lama?
"Hai."
Buru-buru kututup buku catatanku saat sapaan itu masuk di pendengaranku. Tanpa minat, aku melihat pria itu yang langsung mengambil duduk di bangku kantin hadapanku.
"Sendirian saja," tambah Robby lagi, sepertinya dia memang senang menggunakan kata 'sendirian' untuk berbicara denganku.
"Sekarang berdua," balasku acuh.
Kulihat Robby terkekeh sebentar, lalu kembali bertanya, "Shinta sama Riri kemana?"
"OSIS kali. Belum lihat dari tadi pagi."
Robby tak membalas lagi. Mungkin dia bingung melanjutkan pembicaraan bagaimana lagi sementara aku yang diajaknya bicara selalu memutus percakapan.
"Masih marah sama kejadian di taman?" tanyanya hati hati setelah beberapa menit terdiam. Ternyata Robby masih memiliki bahan untuk dibicarakan.
"Kalau kamu terus bahas, mungkin aku bakal beneran marah," dengusku. Tidak heran, sikapku memang buruk. Bahkan Robby termasuk beruntung karena aku mau menanggapi basa-basi nya, jika orang lain mungkin aku tidak akan mempedulikan.
Robby kembali terkekeh pelan, "Hehe, maaf ya." lalu dia menggaruk tengkuknya.
Ahh, aku malas jika terjebak suasana canggung yang menjijikan ini.
"Kembali jadi Robby yang biasa, bisa ga?" ucapku, terdengar seperti menuntut. "Risih tau sama sikap kamu yang begini, tambah nyebelin dari sikap kamu yang nyebelin biasanya."
"Haha, lagian kamu jutek terus kalau lihat aku. Jadi aku pikir kamu masih mempermasalahkan yang terjadi di taman," kekeh Robby.
"Bahas lagi?"
"Oke, oke.. kita lupakan."
Yap, itu lebih baik. Aku memang kesal jika ada yang menghujat ayunan favoritku itu, tapi aku bukan tipikal gadis yang senang jika hubungan pertemanan rusak.
Kembali aku mencoret-coret buku sementara Robby bermain dengan ponselnya. Tak lama, suara tawa Riri dan Shinta terdengar dari arah pintu kantin.
"She's coming!" Robby yang pertama menyuarakan kedatangan dua gadis itu, dan membuatku mendongak — mengangkat pandangan yang sebelumnya terpaku pada coretan di buku.
Riri bergegas dekati meja kami saat menyadari keberadaan ku dengan Robby, meninggalkan Shinta yang tetap berjalan santai dibelakangnya.
"Wahh, aku ketinggalan berita nih!" seru Riri, yang langsung ambil tempat di sebelahku. Shinta ambil tempat disebelah Robby ketika sampai.
"Ya gimana ga ketinggalan berita, nontonnya sinetron mulu," jawabku sekenanya. Bikin Robby dan Shinta tertawa.
"Yee.. bukan berita di tv, tapi berita di pertemanan kita," sahut Riri. "Robby, buruan cerita.. ada perkembangan apa di hubungan kalian?"
HA! Aku menghela napas jengah mendengar celotehan Riri. Pertanda bahwa aku mulai malas dengan pembicaraan ini.
"Apaan sih Ri, gausah ngaco deh," sanggah Robby cepat namun aku tau jika dia sempat tersenyum mendengar sangkaan Riri.
Shinta dan aku tak berbicara disini. Aku sadar jika gadis kalem berambut panjang itu terus menatap ku yang tampak tak nyaman sekarang.
"Haha, jadi belum yah? Aku kirain sudah. Jarang-jarang kan Kinar mau duduk sama kamu kalau ga ada aku sama Shinta." Lalu Riri menghadap padaku, "Kinar, kapan kamu terima Robby? Masa kamu gantungin terus sih sampai sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Swing Memories
Teen Fiction[COMPLETE] . . Itu hanyalah sepasang ayunan tua. Tak berguna, tak terawat, tak begitu menyenangkan. Tapi bagi Kinar, itu adalah sepasang ayunan. Tak ada kata 'tua' yang menghalangi senyum, karena benda tua itu saksi bahwa Kinar pernah tersenyum. Sep...