CHAPTER 1
Suasana kelas pada jam makan siang kali ini sedikit lebih bising dari biasanya. Entah karena alasan apa, mayoritas siswa memilih tinggal di dalam kelas ketimbang merepotkan diri untuk makan di kantin. Padahal hari ini lumayan cerah, mentari musim semi bersinar hangat mengusir sisa-sisa dingin yang tertinggal dari musim lalu. Sangat disayangkan untuk tidak berjalan keluar, menyusuri koridor sekolah, dan menikmati sambutan bunga-bunga di halaman yang mulai bermekaran.
Namun tidak bagi siswi yang bangkunya berada tepat di depan whiteboard itu. Jung Yein. Terkadang ia mengunjungi perpustakaan jika sedang benar-benar bosan. Belum lagi jika ia mendapatkan perintah untuk menemui guru di kantor, atau menghadiri pertemuan mendadak dengan anggota ekstrakurikuler. Namun sebagian hampir seluruh waktu makan siang Yein hanyalah tersita di dalam kelas. Ketika teman-temannya yang lain asyik menikmati hidangan yang disediakan di kantin, dirinya justru tetap berada di kelas dengan bekal makan siangnya.
Kenapa? Apa ia diasingkan?
Bukan itu. Bukan apa-apa, hanya saja ada satu alasan logis di baliknya. Menu hidangan yang disuguhkan setiap harinya oleh pihak kantin pastilah berbeda-beda dan yang jelas bukanlah hidangan sembarangan. Berbagai masakan selalu siap sedia di sana. Nasi, sayur, perut babi, ayam, daging sapi, kepiting, cumi, ikan, telur, susu, keju apa saja... Yein tahu benar. Namun justru itulah yang menjadi alibinya untuk tak ikut bergabung dengan siswa lain di kantin dan memilih membawa bekal makan siang dari rumah.
Dirasa tak ada yang penting dari menceritakan alasan itu pada teman-teman, akibatnya banyak yang mengira Yein merupakan orang yang 'sok' higienis dan pilih-pilih makanan. Sebenarnya Yein sendiri tak pernah mempermasalahkan kiraan itu, toh semuanya berjalan baik-baik saja selama tiga tahun terakhir.
"Apa bekalmu hari ini?" tanya Eunha yang melintas melewati bangku Yein, bertepatan saat siswi itu membuka kotak makan siang.
"Bibimbap," jawab Yein.
"Itu menyehatkan! Kami ke kantin dulu, ya!"
Jung Yein menjepitkan sumpitnya pada potongan-potongan kecil wortel segar, kemudian melahapnya pelan-pelan.
"Ini bagus untuk daya tahan," batinnya.
Belakangan ini ia kelelahan mendapatkan setumpuk tugas dari para guru. Bukan tugas yang biasa diberikan seorang guru pada muridnya, melainkan tugas individu seorang guru yang dibebankan pada salah seorang muridnya. Ya, karena keuletan dan kesanggupan yang dimiliki Yein, beberapa guru tak jarang memintanya untuk membantu dalam pengerjaan input nilai, laporan remidial, koreksi essay, dan sebagainya. Belum lagi dengan kewajibannya sebagai tim penerbit majalah sekolah tahunan. Tentu saja semua itu membuatnya sering-sering berkutat dengan lembaran kertas yang bahkan satu lembar saja bagaikan satu rim jumlahnya.
Kerennya, Yein melakukan itu semua tanpa pamrih. Bila bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, mengapa tidak? Begitu pikirnya, karena saat ini yang bisa ia banggakan adalah kerja kerasnya, usaha, dan jerih payahnya. Ia tahu ia tak secantik, secerdas, sekaya, dan sesempurna Jung Eunha, putri Kepala Sekolah yang jadi teman sekelasnya. Biar saja ia tak sepopuler Eunha, seanggun dan seenerjik ia, karena bagi Yein menjadi diri sendiri adalah terbaik dari yang terbaik. Meski hanyalah bui di tengah lautan, setidaknya ia selalu berhasil bertahan walau ombak menerjang.
Semua itu ia lakukan atas dasar apa? Apakah hanya untuk mencari muka di depan orang? Atau obsesi untuk menjadi siswa tercendekia? Entah, sepertinya itu salah. Hanya satu alasan. Alasan yang begitu bodoh untuk dijelaskan. Awalnya Yein melakukan upaya kerja kerasnya di berbagai bidang akademis untuk menarik perhatian. Ia ingin dilihat. Bukan oleh orang-orang di semua kalangan, namun cukup dilihat oleh satu orang. Bintang itu.

YOU ARE READING
Let Me Know
Fanfic"Kadang lebih baik diam dan berpura-pura daripada memberitahukan apa yang kita rasakan. Karena akan menyakitkan ketika ia bisa mendengar tapi tak bisa mengartikan. Memperjuangkannya? Tak perlu sampai seperti itu. Belum tentu yang diperjuangkan juga...