CHAPTER 12 BAGIAN A.
Membiarkannya tahu. Jika perasaan itu semakin merajalela, terus-menerus membukit seiring berjalannya waktu hingga rasanya hatimu dibuat frustasi, ingin menyuarakannya pada dunia tapi yang kau bisa hanya menyia-nyiakan air mata, terlalu lelah memendam, terlalu sayang melepaskan, jika itulah yang terjadi, biarkanlah ia tahu, maka beban bersembunyimu akan sirna.Ketika kau berpikir, "Bagaimana kalau ia menjauh? Bagaimana kalau ia membenci?" Sadarlah, orang lemah! Apa bedanya dengan saat ini? Apa diammu dihargai? Apakah rahasiamu membuat orang itu menyukaimu? Percayalah, dirasa jauh dan asing oleh orang di depan mata ketika selama ini waktumu habis hanya untuk mengaguminya tanpa suara... itu menyakitkan, bukan? Kecuali jika kau menikmati sensasi rasa sakitnya.
Bintang yang dipuja-puja para hawa itu, bagi Yein seperti fatamorgana oasis di tengah guru--melegakan dari kejauhan, namun hanyalah ilusi pada kenyataan. Atau bagaikan pelangi seusai hujan--indah dan dikagumi, tetapi hanyalah refleksi. Jeon Jungkook, ialah fatamorgana atau pelangi itu, tetapi lebih tepatnya adalah bintang-- berkilauan, membuat siapapun jatuh hati, namun begitu jauh, begitu tinggi untuk diraih.
Menyadari betapa sulit untuk dapat sekedar menyentuh bintang itu, Yein memilih untuk diam, enggan terbang, cukup berdiri di atas tanah dan mendongak, menyaksikan keelokan bintang itu dari jauh. "Kau itu luar biasa dan aku sadar begitu banyak primadona yang ingin menggapaimu. Aku bukannya ingin jadi pengecut, hanya saja memberitahumu tentang isi hatiku lalu mendapatimu menjaga jarak denganku... kurasa aku belum benar-benar siap."
Gadis itu takkan bisa, sampai kapanpun, membiarkan bintangnya tahu.
Rintik air yang dingin membersamai datangnya pagi, menciptakan genangan-genangan di jalanan yang mau tak mau Yein harus merelakan sepatunya basah seturunnya dari bus menuju sekolah sambil menenteng tas kedap air berisi bekal. Tubuhnya yang kecil tinggi terlindung di bawah payung transparan, sesekali tangannya tersigap kala angin bertiup menyingkap rok. Gerbang memang sudah di depan mata, namun menempuh singkatnya jarak tersebut di bawah guyuran gerimis terasa berat. Yakin.
"Satu... dua..." gumamnya menghitung individu di dalam ruang yang barusan ia capai. Kelas selalu sepi di lima belas menit menjelang bel masuk tiap kali hari basah seperti ini. "Dua belas... tiga be..."
Sosok individu terakhir yang duduk di bangku sudut membuat Jung Yein menyudahi hitungannya. Bibir tipis cantiknya dikatup rapat sambil berjalan lemah menuju ke bangkunya di deret paling depan, berbentangan dari yang di sudut itu. Ada suara genderang yang terdengar, tapi hanya dirinya sendirilah yang mampu mendengar itu. Setelah ditelisik, nyatanya suaranya bersumber dari dalam dada.
Apa ia sudah membaik? Apa ia tak apa? Oh, ia duduk di bangkunya sendiri. Apa yang akan kulakukan saat berpapasan dengannya nanti? Tunggu, memangnya ia bisa melihatku? Mm, itu kejam, sih. Tapi kan aku satu-satunya yang tahu tentang masalahnya. Oh, apa ia barusan mengganti model rambut? Keren. Dua hari tak melihatnya membuatku gila, rasa cemas dan khawatir berhasil menguasai, tapi sekarang aku lega. Ia terlihat baik-baik saja, lebih tampan dengan gaya baru potongan rambutnya yang sedikit basah karena gerimis tadi pastinya.
Gadis itu memainkan otaknya, tak untuk memecahkan problematika, hanya... memanggil kembali momen-momen kecil yang terkemas apik menjadi memori dan disimpan rapi di alam bawah sadarnya. Tak mempedulikan hal lain, berkelut dengan ingatannya sendiri.
Percakapan di telefon kemarin lusa, astaga, itu pertama kalinya! Meskipun menjadi satu-satunya pihak yang menganggap hal itu berharga, aku tetap bahagia. 'Jung Yein, terima kasih', begitu kiranya.
"Yein-a..."
'Terima kasih atas apa?'. Dan jawabnya, 'untuk kesediaanmu berada di sisiku.' Hanya dua hari berselang, rasanya lama sekali tanpa ada bintang yang menerangi duniaku. Seandainya aku bisa berteriak pada dunia itu, aku akan mengatakan-
![](https://img.wattpad.com/cover/80085010-288-k936010.jpg)
YOU ARE READING
Let Me Know
Fiksi Penggemar"Kadang lebih baik diam dan berpura-pura daripada memberitahukan apa yang kita rasakan. Karena akan menyakitkan ketika ia bisa mendengar tapi tak bisa mengartikan. Memperjuangkannya? Tak perlu sampai seperti itu. Belum tentu yang diperjuangkan juga...