1. BIRU - BASTIAN

1.1K 62 4
                                    

"Lima mendatar. Pertanyaannya, pilihan yang sulit. Enam kotak. Huruf keempat E, huruf terakhirnya A. Apaan Bi?"

Pertanyaan Banyu bersamaan dengan jatuhnya air mataku. Lagi. Ini sudah kesekian kalinya aku menangis seharian ini. Mataku sudah sangat sembab. Hidungku mampet. Tapi sepertinya air mataku tidak kering-kering.

"Bi... apaan iiiih? gue nggak tau iniii..."

Lagi. pertanyaan Banyu memenuhi telingaku. Katanya dia mau menghiburku. Tapi nyatanya dari satu jam yang lalu dia cuma serius isi TTS nya itu.

Membiarkanku berbaring di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu galau. Sementara dia duduk di bawah, sambil memegang buku TTS di tangan kanan dan pulpen di tangan kirinya.

"Astagaaaaa gue nanya malah didiemin. Lu tidur ya Bi?"

Banyu bangun, lalu menarik bahuku untuk melihat mukaku yang dari tadi menghadap ke tembok.

"Iiishh... ini muka jelek amat sih. Udah dong nangisnya. Nggak pegel apa itu mata?" Ucapnya saat badanku telentang.

"Lu nggak asik ah kalau lagi patah hati. Seharian gue dicuekin. Ini lagi nambah penyakit aja dengerin lagu-lagu kaya gini."

Banyu kesal dan langsung mematikan lagu We are Broken-nya Paramore, yang mengalun dari ponselku.

"Lu yang resek. Mau menghibur apaan. Dari tadi cuma isi TTS doang. Pake nanya pertanyaan nggak penting lagi. Lu emang mau niat nanya atau mau nyindir gue sih?" Balasku tak kalah kesal.

"Ini pertanyaannya memang gitu Biruuuuu... tuh baca, pilihan yang sulit, enam kotak. Nyindir apaan sih?"

Banyu menunjukan buku TTS nya. Yaaah... memang ada pertanyaan itu sih. Tapi masa iya bisa pas banget. TTS itu seolah-olah tau kalau apa yang aku hadapi saat ini tuh pilihan yang sulit. Bertahan atau menyerah.

"Soal gitu aja pakai nanya." Cibirku. "Lu emang niat mau nyindir kayanya."

"Haaaaah apaan siiiiiihhhh!!!!"

"Dilemaaaa Banyuuu... jawabannya DI...LE...MAAA!!!!!!" Suaraku sedikit meninggi.

"Oh. Maaf."

Hah! Maaf katanya. Ini sih perasaanku sudah bukan sedih lagi. Tapi berubah kesal. Banyu memang berbakat bikin ku kesal.

Dia sama sekali tidak punya kemampuan menghiburku. Jadi ya jelas salahku yang berekspektasi dapat hiburan dari dia.

"Udah deh lu mending pulang aja. Nggak guna juga disini. Cuma bikin gue kesel aja." aku memelankan suara, coba mengusir Banyu dari kamarku.

"Terus apa? Lu mau lanjut nangis lagi? Dengerin lagu galau-galau lagi? Itu nanti bukan cuma mata lu yang bengkak. Seluruh muka lu bisa bengkak. Udahlah Bi ikhlasin aja. Mungkin putus memang jalan yang terbaik buat kalian. Dilanjut juga cuma nambah masalah kan? Udah bener kalian putus sekarang. Dari pada ntar-ntar makin dalem, makin sakit lagi putusnya."

Ya! Aku memang baru putus kemarin dengan pacarku, Bastian. Kami sudah pacaran lima tahun. Dari SMA. Tepatnya sejak umurku 16 tahun. Bastian cinta pertamaku. Pacar pertamaku juga.

Kita beda agama. Aku islam, Bastian katolik. Selama lima tahun kami mengacuhkan perbedaan itu. Jiwa muda kami, menganggap perbedaan keyakinan itu bukan masalah besar.

Tapi ternyata, semakin dewasa kami semakin sadar, bahwa perbedaan itu bukan cuma masalah besar lagi, tapi fatal.

Saat menyangkut keyakinan bukan lagi tentang aku dan dia. Tapi melibatkan Tuhan juga di dalamnya.

Rasanya aku ingin terus berada di masa SMA. Saat itu kami benar-benar tidak peduli soal agama apa yang kita anut.

Seolah kita ini sama, Tuhan kita sama. Lagipula Tuhan memang satu kan, kita saja yang berbeda. Haaah... jadi ingat lirik lagu siapa tuh penyanyinya, aku lupa.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang