4. BANYU - PATAH HATI (II)

693 41 4
                                    

Gue sebenernya nggak mau nyalahin Biru soal putusnya gue dengan Ayunda. Tapi keadaannya memang gitu.

Hati gue juga nggak bisa diajak kompromi. Ikut-ikutan jadi sebel sama Biru. Padahal Biru nggak tahu apa-apa. Karena memang gue belum kasih tahu dia soal ini.

Habis dari Ayu mutusin gue itu, gue nggak jadi ke rumah Biru. Hati gue sakit. Beneran sakit. Nggak sanggup juga kalau harus ketemu Biru. Karena dia yang jadi alesan hati gue sakit. Jadi gue mutusin pulang aja.

Besoknya berita gue putus dari Ayu langsung kesebar. Nggak ngerti itu orang-orang tahu dari mana.

Ada yang cuma diam-diam ngomongin di belakang. Ada juga yang konfirmasi langsung ke gue. Ya gue diemin lah. Heran pengen tahu aja. Orang-orang ini terlalu mendalami mata kuliah kayaknya, jadi skeptis.

Dalam ilmu jurnalistik, setiap jurnalis memang diajarkan untuk punya sikap skeptis. Konsep skeptis disini berarti tidak boleh mudah percaya terhadap suatu kejadian. Jadi diharapkan banyak bertanya untuk mencari fakta.

Dan gue rasa nih orang-orang gagal memahaminya. Skeptis pada kasus pembunuhan sih oke. Lah kalau ada kasus orang putus cinta diskeptisin juga, cari ribut namanya.

Dari pada gue ngamuk. Gue tinggal aja ke perpustakaan. Nggak akan ada juga yang cari gue disana. Karena gue memang nggak pernah memberi kesan orang yang suka datang ke perpustakaan. Jadi mereka nggak akan nyangka gue disana.

Tapi ternyata gue salah. Masih aja ada orang yang bisa nemuin gue di perpustakaan. Dia Indira. Sahabatnya Biru. Yang selalu maksa jadi sahabat gue juga.

Biru dan Indira kenal di kampus. Mereka cocok terus sahabatan. Teorinya Indira, karena gue sahabatan sama Biru. Dan dia juga sahabatan sama Biru. Otomatis dia juga sahabatan sama gue. Padahal gue nggak setuju.

Dari teori itu juga, Indira menganggap kalau dia berhak tahu semua tentang gue. Selayaknya Biru. Jadi tebak gue, pasti niat dia datangin gue juga mau menkonfirmasi soal putusnya gue dan Ayunda.

"Lu beneran purus Nyu?"

Tuh kan bener.

"Gue denger dari anak-anak, katanya kemaren lu diputusin Ayunda. Beneran Nyu? Kok bisa putus? Kenapa emangnya?"

Nih anak salah satu contoh orang yang gagal memahami konsep skeptis tadi.

"Biru udah tahu Nyu? Lu udah ke rumahnya? Atau udah telepon?"

Masih nggak gue jawab. Gue lebih milih ambil earphone, sumpel kuping, terus pasang musik.

"Yaaaa... Nggak diharepin kayanya gue disini. Cabut ajalah."

Untung Indira nangkep kode pengusiran halus gue. Kalau masih disini juga, ngeri-ngeri gue meledak. Kasian dianya entar.

Gue nggak akan berhari-hari kok galau kayak Biru. Gue cuma butuh waktu satu atau dua hari buat nenangin diri. Buat nerima ini semua.

***

Hari ini pagi-pagi gue udah berangkat dari rumah. Mama sampai bingung jam tujuh gue udah pamit ke kampus.

Gue memang sengaja nggak ngambil kuliah pagi. Karena gue susah bangun pagi. Jadi pilih kuliah siang aja.

Beruntung gue masuk ke kampus yang membebaskan mahasiswanya menyusun jadwal kuliah sendiri. Jadi dari dulu gue nggak pernah ambil kuliah pagi.

Alasan gue berangkat pagi-pagi ke kampus adalah menghindari Biru. Iya gue memang masih belum sanggup ketemu dia. Masih sedikit sebel aja.

Indira pasti udah cerita ke Biru soal putusnya gue. Dan mengingat Biru yang suka terlalu perhatian sama gue, dia pasti bakal keluar dari tempat galaunya garis miring kamar, untuk konfirmasi langsung ke gue.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang