18. BANYU - STATUS BARU

617 38 4
                                    

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Ayunda Zeharra Ikhwan binti Ikmal Ikhwan dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

Gue ucapin dalam satu tarikan nafas, nggak pake salah.

"Sah?" Tanya penghulu ke para saksi dan dijawab "Sah" oleh semuanya.

Setelahnya penghulu memimpin doa. Gue ngelirik ke bagian kiri gue. Di sana Biru duduk, berdampingan dengan orangtuanya. Pake dress putih selutut, cantik banget.

Gue berharap namanya yang tadi gue sebut saat ijab qobul. Gue berharap status baru yang gue dapet sekarang ini bukan suami perempuan lain, tapi suami Biru.

Tapi gue bisa apa sih? Perempuan yang mau gue perjuangin, malah nolak untuk diperjuangin. Bahkan maksa gue untuk ikhlas ngelepas dia. Karena katanya dia udah ikhlas ngelepas gue.

Omong kosong! Gue tau dia masih mau gue. Tapi ya Biru tetep Biru, yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri. Satu sifat Biru yang sialan banget, sama sekali nggak gue suka. Terutama saat ini.

Katanya kebahagiaan dia sekarang cuma ngeliat gue dan Ayunda nikah terus besarin anak kita sama-sama. Oke gue ikutin demi kebahagiaan dia. Kita liat siapa yang bakal lebih bahagia? Gue rasa jawabannya nggak ada.

Pergerakan disamping gue ngembaliin fokus gue ke acara akad. Ternyata Ayunda udah duduk disamping gue. Dia pake kebaya sederhana warna putih, riasan kepala dan mukanya juga sederhana.

Kalau dulu kondisinya, gue bakal langsung muji dia cantik. Tapi sekarang kecantikan perempuan yang duduk di bagian kiri gue tetep juaranya. Nggak ada yang bisa ngalahin cantiknya Biru di mata gue.

Petugas KUA mulai nyodorin berbagai macam dokumen yang harus gue dan Ayunda tandatanganin. Setelah itu acara memasangkan cincin ke jari manis masing-masing pasangan. Dan dilanjutin gue yang kasih mas kawin ke Ayunda.

Pas keluarga gue datang ke keluarga Ayunda ngomongin masalah nikah, Ayunda nggak minta apa-apa untuk mas kawinnya. Dia cuma minta seperangkat alat salat.

Orangtua Ayunda juga nggak minta yang macam-macam. Mereka cuma mau gue nikahin Ayunda secepatnya. Makanya nikahan kita juga cuma akad aja, nggak pake resepsi.

Ya mengingat perut Ayunda yang udah mulai kelihatan. Padahal baru jalan dua bulan hamilnya. Gue sih malah bersyukur. Jadi gue nggak harus cape-cape pasang tampang sok-sok bahagia pas salaman sama tamu-tamu. Kalau gini kan yang datang cuma keluarga aja. Bodo amatlah kalau mereka sih.

Acara pun berlanjut ke acara makan-makan. Nggak ada kursi khusus yang disediain buat pengantin. Makanya gue lebih milih duduk sama sepupu-sepupu gue, menjauh dari Ayunda yang duduk satu meja bareng orangtuanya dan orangtua gue. 

Tadinya gue malah mau duduk bareng Biru dan orangtuanya. Tapi tau dirilah gue, jaga perasaan Ayunda dan keluarganya juga. Tapi walau begitu perhatian gue nggak pernah lepas dari Biru.

Sumpah cantik banget dia hari ini. Gimana gue mau ikhlas ngelepasnya coba? Biru dan orangtuanya datang bareng rombongan keluarga gue. Tapi dari awal dia sama sekali nggak nyapa gue. Malah terkesan jaga jarak.

Bahkan nggak ada lho dia liat gue sebentar aja. Biru kayaknya udah bener-bener ngelepas gue, ngikhlasin gue. Tinggal gue yang mati-matian buat belajar ngikhlasin dia.

"Istri lu duduk sebelah kanan Nyu. Malah liatnya ke kiri. Elaaah..." Kata Bagas sepupu gue.

"Padahal belum lama ini ijab qobul lho. Udah dilupain aja istrinya. Kasian." Sailendra sepupu gue lainnya ikutan godain gue.

"Diem kalian. Udah cepet abisin makanannya. Udah itu balik sana." Omel gue.

"Oh malam pertamanya mau dipercepat ya Nyu?" Belum puas Bagas godainnya.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang