15. BIRU - MANDIRI

490 32 2
                                    

Sudah sembilan bulan aku dan Banyu bekerja. Aku di salah satu stasiun televisi lokal Jakarta, sedangkan Banyu di salah satu media online Jakarta. Kita sama-sama menduduki posisi reporter. Bedanya aku reporter lingkungan dan budaya, sementara Banyu reporter olahraga.

Setelah satu bulan bekerja aku memutuskan untuk pisah rumah dengan orangtuaku, menyewa apartemen kecil dekat kantor.

Bukan bermaksud sombong karena sudah punya gaji sendiri, tapi itu pun karena terpaksa. Mengingat jarak dari rumah ke kantor cukup jauh. Rumahku di daerah Jakarta Selatan, sementara kantor di Jakarta Utara.

Awalnya aku coba bertahan dengan pulang pergi menggunakan kereta dan disambung dengan ojek online tiap berangkat kerja. Tapi baru dua minggu bekerja, rasanya anggota badanku mau copot-copot.

Jam enam pagi sudah harus berjuang berdiri desak-desakan di kereta selama satu jam, itu kalau keretanya tidak gangguan ya. Ditambah duduk selama tiga puluh menit di motor dan baru sampai di kantor, itu juga kalau tidak macet ya.

Belum lagi pulangnya, paling cepat aku baru bisa jam setengah sembilan malam sampai rumah. Dan besoknya harus mengulang rutinitas yang sama. Lelah.

Akhirnya aku meminta izin Ayah dan Ibu untuk menyewa apartemen dekat kantor. Agar lebih dekat, sekaligus hitung-hitung belajar mandiri. Mereka tentu langsung menolak, terutama Ibu yang tidak mau pisah dengan anak sematawayangnya.

Ayah malah menawarkan untuk mengantar jemputku ke kantor, agar aku bisa istirahat saat di perjalanan. Dan giliran aku yang menolak. Gila saja, masa aku membiarkan Ayah menyetir sementara aku tidur. Hah! Anak macam apa aku.

Permasalahan izin sewa apartemen ini cukup alot, apalagi ditambah Banyu yang memanas-manasi Ayah Ibu untuk tidak memberikan izin. Banyu juga ikut-ikutan menawarkan solusi antar jemput untukku. Jadi dia mengantarku dulu ke kontor, baru dia berangkat ke kantornya. Begitupun pulangnya, dia jemput aku ke kantor baru kita pulang ke rumah.

Dia pikir bakal semudah itu apa? Kerja wartawan itu kan tidak mengenal waktu, bagaimana kalau dia harus ada liputan mendadak? Atau dia yang harus lembur?

Kalau aku sih jelas masuk kantor jam setengah sembilan pagi, dan pulang jam setengah enam sore. Beruntungnya aku bekerja di salah satu stasiun TV yang menerapkan sistem office hours. Bekerja delapan jam, dari Senin sampai Jumat dan Sabtu-Minggu libur.

Sedangkan Banyu, jam kerjanya saja tidak jelas, kalau ada liputan ya Sabtu-Minggu masuk. Gimana juga coba dia mau antar jemput aku, realistis saja deh.

Setelah merayu, merengek sampai menangis akhirnya Ayah, Ibu dan Banyu mengizinkan ku untuk menyewa apartemen dekat kantor. Itupun setelah Ayah dan Banyu mengecek langsung keadaan apartemennya.

Acara aku pindahan juga sangat heboh. Apalagi Ibu yang memaksa bawa barang ini dan itu, padahal apartemenku tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar, satu kamar mandi, dan satu ruangan yang bisa dijadikan ruang makan plus dapur.

Belum lagi setelah pindahan. Baru dua hari menempati apartemen, Ibu sudah telepon memintaku untuk pulang. Tidak ada bedanya dengan Banyu, yang terus-terusan minta untuk ketemuan. Padahal dianya sendiri yang selalu tidak sempat karena jadwal liputan yang padat. Haaah... inilah resiko punya orangtua dan pacar yang suka drama... berlebihan.

"Bi, berita tentang dipo daur ulang yang di Cengkareng itu udah kamu ketik?" Pertanyaan dari Mba Siska, asisten produser ku menyadarkanku dari lamunan.

"Oh udah Mba, tinggal di VO Saras aja." Jawabku.

"Ya udah cepet kasih Saras deh. Biar bisa langsung edit videonya." Pinta Mba Siska dan aku langsung memberikan naskah berita pada Saras untuk di voice over.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang