19. BIRU - MENJAUH

638 40 3
                                    

"Iya... Bu... Ngerti... Biru ngerti. Ya udah nanti diomongin lagi pas Ayah sama Ibu udah disini ya. Ya udah ya... Biru sayang Ibu. Sayang Ayah juga, tolong bilangin Ayah. Dah Ibu."

Kututup telepon dari Ibu. Panas juga kupingku, satu jam teleponan sama Ayah dan Ibu.

"Kenapa? Masih dipaksa pulang?" Pertanyaan Kak Fatir yang baru saja bergabung denganku di ruang tamu.

"Ya gitu deh. Ibu tetep maunya aku pulang setelah wisuda."

"Apa sih yang bikin kamu berat balik ke Indonesia?"

"Aku tuh udah nyaman aja Kak disini. Berat juga ninggalin murid-muridku dan The Fact."

"Yakin cuma karena itu? Bukan karena Wija?"

"Ih apa sih Kak Fatir sama aja deh kayak Ibu. Suka goda-godain aku gitu."

"Ya abis kamunya, disuruh pulang aja susah."

"Kak Fatir ikutan suruh aku pulang? Udah nggak mau nampun aku disini ya?"

"Yeee... Sensitif. Aku sih seneng-seneng aja kamu disini. Cuma aku kasian aja liat ibu kamu. Udah dua tahun lho Bi."

Iya ya sudah dua tahun aku disini, Melbourne, Australia. Tanpa pernah pulang sekalipun ke Indonesia. Aku disini melanjutkan kuliah magisterku. Tinggal bersama kakak sepupuku, Kak Fatir yang memang menetap disini sudah enam tahun lamanya.

Selama dua tahun disini, tidak pernah sekalipun aku pulang ke tanah kelahiranku. Selalu Ayah dan Ibu yang menyempatkan diri mengunjungiku disini. Beberapa kali juga Indira yang datang menjengukku sekalian dia liburan.

Aku tentu punya alasan kenapa bisa terdampar di negeri kangguru ini. Satu alasan yang benar-benar membuatku yakin meninggalkan Indonesia, menjauh sejauh-jauhnya dari dia.

***

2 tahun yang lalu, di RS Bersalin...

"Lucu banget Nyu. Gemesin." Kata Indira yang melihat bayi digendongan Banyu.

Kemarin Banyu mengabariku, kalau Ayunda sudah melahirkan. Dan hari ini, aku juga Indira menjenguk anak mereka.

Bayi itu perempuan, cantik dan mungil. Sangat mirip Banyu. Mata, hidung, mulut, bahkan kulit kecoklatannya pun menurun dari Banyu.

Namanya pun tak kalah cantik, pemberian langsung dari sang ayah. Tanaya Naladhipa Abadi. Anak perempuan yang merupakan jantung hati yang menerangi di keluarga Abadi.

Dari nama itu Banyu seakan membuktikan betapa cintanya dia pada Nala, anaknya, darah dagingnya.

Saat Banyu menggendong Nala. Mencium keningnya. Bahkan saat menyaksikan Nala sedang menyusu pada ibunya. Terpancar banyak cinta dari mata Banyu untuk Nala.

Banyu sangat mencintai Nala. Dan detik itu juga ku tahu, kalau aku sudah benar-benar kehilangan Banyu. Sudah tidak ada kemungkinan sekecil apapun untuk dia kembali padaku.

Banyu tidak akan pernah meninggalkan Nala. Dia akan selalu memilih Nala, dibandingkan apapun. Dan dengan kata lain, Banyu akan selalu disisi Ayunda. Sudah tidak ada kemungkinannya lagi untukku kan? Aku sudah benar-benar kehilangan Banyu.

Sesampainya di parkiran, aku menangis kencang di pelukan Indira. Menumpahkan semua air mataku yang dari tadi kutahan dalam ruangan penyiksaan itu.

"Gue udah kehilangan dia, Ndi. Gue udah bener-bener kehilangan dia." Air mataku turun. Indira mengelus punggungku.

"Bi... Kan lu sendiri yang bilang, lu udah ikhlas."

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang