21. BIRU - KEMBALI

700 49 2
                                    

Jakarta.

Empat tahun... Tidak terasa sudah empat tahun aku tidak menginjakan kaki di kota ini, tanah kelahiranku.

Cuacanya masih sama. Panas. Udaranya masih sama. Banyak polusi. Dan sepertinya makin banyak saja gedung-gedung tingginya. Alamat bakal susah nemu ruang terbuka hijau di kota ini.

Setelah empat tahun melarikan diri ke negeri kangguru, Australia. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Kali ini tidak perlu lagi paksaan-paksaan dari ibu. Aku sendiri yang memutuskan untuk kembali. Pulang ke tempat dimana seharusnya aku berada.

Dan apa yang membuatku akhirnya mengambil keputusan ini?

Jawabannya adalah, aku harus melanjutkan hidupku.

Seperti yang Kak Nima bilang, hidupku terlalu berharga untuk meratapi orang yang belum tentu memikirkanku.

Ya mungkin saja dia sudah bahagia, sementara aku masih saja sibuk melarikan diri. Aku juga pantas bahagia.

"Kalau dia bisa happy, kenapa kamu nggak bisa happy juga?"

Itu yang Kak Nima bilang. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Meneruskan hidupku. Menghadapi masalah yang aku hindari selama ini.

"Kalau kamu mau maju. Kamu harus berhenti lihat ke belakang. Di depan masih banyak kebahagiaan yang menanti kamu."

Satu lagi kata-kata Kak Nima yang buat aku yakin untuk pulang ke Jakarta. Dan disinilah aku sekarang. Bandara Soekarno Hatta. Sedang dipeluk erat oleh ibuku.

"Ibu dari semalem udah nggak sabar pengen ketemu kamu. Sampe nggak bisa tidur tau nggak." Kata ibu yang masih memelukku erat.

"Dari pagi udah ngajak ke bandara Bi. Padahal kamu kan sampenya jam empat sore." Keluh Ayah.

"Nggak ngerti kangen anaknya apa." Ujar Ibu.

"Udah ributnya nanti di rumah aja. Malu itu diliat Mas Wija." Mas Wija hanya balas senyum.

Mas Wija ikut denganku ke Jakarta. Akhirnya setelah tujuh tahun, dia menginjakan kaki lagi di tanah kelahirannya.

Seperti yang dia bilang, dia akan pulang ke Indonesia kalau aku juga pulang. Tapi bukannya pulang ke rumah orangtuanya di Yogyakarta, dia malah ikut aku ke Jakarta.

"Wija pulang ke mana?" Tanya Ibu.

"Saya mau ke rumah sepupu."

"Oh nggak dijemput?" Ayah gantian yang bertanya.

"Anaknya lagi sakit. Jadi nggak bisa jemput."

"Ya udah ikut ke rumah dulu yuk. Makan dulu. Ibu udah masak lho."

"Saya langsung ke rumah sepupu saja. Nggak enak kalau harus kemana-mana dulu. Besok aja saya ke rumah."

"Bener ya besok ke rumah. Ibu masakin buat Wija."

"Iya janji besok saya ke rumah." Kata Mas Wija dan setelahnya kita berpisah.

Sepanjang jalan di mobil ibu masih saja memelukku. Ibu dan aku duduk di kursi belakang, membuat ayah kesal karena jadi seperti seorang supir.

Sesekali ibu mengecup pipiku. Yang dibalas protesan olehku. Seperti anak kecil saja aku, diperlakukan seperti itu.

"Bu udah ah lepas. Apasih ini, aku kayak anak TK aja deh diginiin."

"Ibu kangen banget sama kamu Biru. Seneng banget kamu pulang."

Saat aku beritahu akan pulang, ibu senangnya bukan main. Bahkan Ibu sampai menangis. Kalau ayah seperti biasa, tetap memasang wajah tenangnya. Padahal aku tahu, ayah juga sama senangnya seperti ibu.

BANYU BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang