Cerita 1 - Kehidupan Baru

1.1K 29 0
                                    

Sebelum aku kembali ke ceritaku, aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu.

Namaku Bima Kertarajasa. Sejak kecil semua orang memanggilku Bima. Usiaku 28 tahun. Seperti yang terlihat pada namaku, aku orang Indonesia. Orang tuaku asli dari Jawa Tengah. Aku pun lahir dan besar di Jawa Tengah. Tinggiku 173 cm dan beratku 53 kg. Sedikit lebih kurus dari berat badan yang dianggap normal.

Setelah lulus dari jurusan Sistem Informatika di salah satu universitas ternama di daerah Depok, aku bekerja di Jakarta di salah satu perusahaan IT yang cukup terkenal.

Bukannya aku membanggakan diri, tapi sepertinya Tuhan memberikanku nasib yang baik sehingga bisa menjadi seseorang yang mungkin dapat dibilang jenius.

Meskipun begitu, aku tidak ingin kehidupan kaya raya yang penuh foya-foya. Meskipun di perusahaan besar, aku memutuskan untuk masuk ke bidang database maintenance yang sebenarnya pekerjaan berat, tapi gajinya tidak seberapa.

Aku tidak ingin gaji yang terlalu besar, asalkan bisa mencukupi kehidupanku, itu cukup.

Aku juga ingin pekerjaan yang membuatku sibuk. Jadi, ketika datang waktu liburan atau cuti, aku benar-benar bisa merasakan nikmatnya liburan setelah pekerjaan berat.

Karena dua alasan ini, aku memutuskan untuk memilih pekerjaan ini.

...

Baiklah, mari kembali ke ceritaku.

Seminggu yang lalu, aku dan dua sahabat baikku, Ilham dan Fajar, pergi ke Pelabuhan Ratu. Kami mengambil cuti selama tiga hari demi meraih kenikmatan dunia setelah penatnya pekerjaan.

Lalu, apakah ada sesuatu yang aneh yang terjadi saat kami di sana? Tidak. Kami seperti turis-turis lainnya, hanya bermain di pantai, berkeliling mencari seafood, dan bermain ke kamar Nyi Roro Kidul.

Tenang saja, meskipun kami bermain ke kamar Nyi Roro Kidul, tidak ada hal aneh yang terjadi sedikit pun. Bahkan petugas hotel yang mengantarkan kami pun bilang bahwa kamar ini hanya rekayasa untuk menarik pengunjung. Suasananya sengaja dibuat seram dan diberi bau menyan agar terkesan sesuai dengan mitos yang ada.

Intinya, tidak ada hal aneh yang terjadi selama kami di sana.

Kami pulang dengan damai.

Kebetulan kami bertiga berpatungan untuk mengontrak rumah bersama di daerah Sudirman, jadi kami menuju arah yang sama. Setelah sampai stasiun tempat kami turun, langit masih terang. Jam tiga sore.

Meskipun matahari terlihat cukup terik, tapi banyak genangan air dan udaranya cukup lembab. Tak jarang juga aku melihat orang-orang berjalan sambil menenteng payung lipat yang terus menitikkan air.

Sepertinya baru selesai hujan.

Setelah berjalan keluar stasiun, kami melihat ada kerusuhan antara polisi dan pendemo. Entah apa yang mereka demo-kan. Aku tidak pernah peduli. Aku senang dengan dunia politik, tetapi aku tidak suka dengan pendemo di Indonesia yang sering tak punya makna. Ya, aku tahu mereka pasti memiliki maksud dan tujuannya sendiri sampai melakukan aksi seperti itu, tapi beberapa tahun terakhir ini aku tidak melihat hasil yang nyata dari aksi mereka. Karena itu, aku menganggapnya tak punya makna.

Untuk menghindari kerusuhan, kami memilih jalan kecil melalui gang-gang di sekitar situ.

Saat kami baru berbelok ke salah satu gang, Ilham tiba-tiba berhenti.

"Kenapa, Ham?"

"Bentar deh. Lo kan suka rusuh kalo bercanda. Kenapa nggak ikutan rusuh bareng tuh pendemo? Hahaha."

"Heh! Kalo gue rusuh juga ada maknanya."

"Rusuh apaan yang ada maknanya?"

"Maknanya demi bikin orang lain kesel. Hahaha"

Ya, Ilham memang senang bercanda.

Ah, tidak. Kami bertiga memang senang bercanda.

Fajar tertawa terbahak-bahak mendengar candaan kami yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Atau malah sama sekali tidak lucu. Tapi itulah kelebihan Fajar. Rasa humornya yang 'terlalu tinggi' membuat orang lain ikut tertawa karena melihat ia tertawa.

Candaan Ilham juga selalu jayus. Tapi karena aku sudah terbiasa, aku tetap tertawa untuk membuatnya senang. Ya, aku tahu aku jahat. Tapi ini demi menjaga pertemanan kami. Kalau aku tidak tertawa, Ilham akan menjadi bete seharian penuh.

Fajar menepuk bahuku sambil tertawa.

Aku terpeleset.

Mungkin karena jalanan yang licin setelah baru selesai hujan, aku terjatuh hanya karena tepukan kecil seperti itu.

Badanku terjatuh ke belakang. Sebagian badanku ada di pinggir jalan raya, sedangkan kakiku masih di dalam gang kecil itu.

Dan...

"Dor!!"

Aku mendengar suara tembakan.

Polisi mulai memberikan tembakan peringatan. Sepertinya keadaan semakin memburuk. Aku harus cepat-cepat pergi.

Belum sempat aku bergerak, aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam kepalaku dari arah kanan-belakang.

Peluru nyasar.

Aku salah. Dari arah datangnya peluru itu, sepertinya yang tadi itu bukanlah tembakan peringatan, melainkan tembakan dari para pendemo yang membawa senjata berbahaya itu. Sayangnya ia tidak ahli menembak sehingga menyasar ke arah gang kecil ini.

Atau memang ia sengaja menambakkannya ke arahku.

Tak sempat aku berpikir lebih jauh, kesadaranku hilang seketika.

...

Ah. Aku ingat sekarang.

Aku sudah meninggal dunia.

Orang bilang, sesaat sebelum seseorang meninggal dunia, ia akan melihat kenangan-kenangan masa lalunya dalam sekejap.

Mungkin ini salah satu ingatanku ketika aku masih bayi.

Aku sudah menjalani hidup yang cukup memuaskan.

Tak apa aku mengakhirinya sekarang. Aku pasrahkan semua pahala dan dosaku pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tetapi, aku tak ingin mengenang semuanya. Aku ingin tersenyum saat meninggal dunia, jika aku mengenang semuanya, aku rasa aku akan merasa sangat sedih. Aku pejamkan mataku agar semua cepat berakhir.

...

Setelah kurasa semua sudah tenang, aku mulai membuka mataku perlahan.

Langit-langit dari kayu.

Ya. Yang kulihat bukanlah langit indah Surga, api mematikan Neraka, maupun tanah gelap dalam kuburan.

Langit-langit rumah yang terbuat dari kayu.

Itulah yang kulihat.

Tak lama kemudian, wanita berambut pirang itu menghampiriku lagi. Ia menggendongku dengan tersenyum.

Sepertinya kisah masa laluku belum berakhir.

Ah, Tidak. Perasaan ini... Ini terlalu nyata.

Apa mungkin ini... reinkarnasi?


Kehidupan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang