09 : Tuan Hakan Arazi

1.4K 200 13
                                    

Pintu kamar Edo diketuk. Adalah Tuan Hakan yang datang. Edo, Friska, dan Arif yang sedang berdiskusi mengenai kasus pembunuhan berantai dikejutkan dengan kedatangan Tuan Hakan dengan wajah yang cemas.

"Tuan Hakan? Ada apa?" Edo bertanya, saat dia membuka pintu kamar dan melihat Hakan Arazi berdiri dengan tatapan cemas dan ketakutan.

"Boleh saya masuk?"

"Oh, silahkan saja." Edo mempersilahkan. Setelah Tuan Hakan masuk, dia menutup kembali pintu kamarnya.

Jam tepat menunjuk ke angka tiga sore. Tuan Hakan duduk di sofa. Sedangkan mereka bertiga duduk di atas kasur, menatap Hakan dengan rasa yang aneh.

"Aku ingin kalian anak muda berbakat bisa memecahkan kasus pembunuhan ini. Aku percayakan pada kalian bertiga. Kalian telah berhasil menjawab sepuluh soal teka-teki terumit, jadi dengan persoalan teka-teki pembunuhan ini, aku harap kalian bisa memecahkannya. Aku tidak ingin polisi ikut campur dalam waktu ini."

"Tapi kenapa anda tidak menghubungi polisi saja, Tuan Hakan?" Arif bertanya polos.

"Aku tidak mau peresmian kapal ini rusak. Aku pasti akan lapor polisi ketika kapal ini akan berlabuh di Pontianak. Aku punya banyak kenalan polisi di sana. Dan aku bisa mengharapkan kepada mereka agar menyembunyikan kasus kematian ini dari khalayak publik. Mereka pasti bisa dipercaya. Itulah sebebnya aku tidak ingin menghubungi polisi pada waktu sekarang." Hakan menghembuskan napas perlahan.

"Baiklah. Aku tahu apa maksud anda, Tuan Hakan. Tapi, kasus pembunuhan ini akan terus berlanjut kalau tidak segera ditangani oleh ahlinya." Edo berkata tegas.

"Aku ingin kalian bertiga menyelidiki kasus ini. Aku percaya sekali kepada kalian." Hakan memasang wajah berharap.

"Bagaimana?" Friska menoleh ke Edo.

Edo mengangkat bahu. "Baiklah. Tapi aku butuh mereka semua. Kumpulkan para tamu undangan di makan malam nanti. Akan aku tanyakan satu persatu keadaanya. Karena aku yakin sekali, salah satu pembunuhnya ada disalah satu dari mereka."

Hakan berkata. "Kau percaya padaku kan, anak muda. Kalau aku ini bukan pembunuhnya. Lagipula aku tidak merasa pernah menulis angka-angka misterius itu di dalam surat undangan."

"Ini sangat aneh," lanjut Edo, "jika Tuan Hakan tidak menulis angka-angka di surat itu, lalu siapa yang menulisnya. Coba jelaskan, kapan anda mengirim surat-surat undangan itu? Apa anda sendiri yang melakukannya, atau anda menyuruh orang kepercayaan anda?"

"Aku menyuruh orang kepercayaanku," lanjutnya, "dia asistenku, namanya Uno. Dia yang saya tugaskan untuk mengirim surat-surat itu ke pos langsung."

"Apa Tuan yakin, kalau Uno telah melakukan secara benar, tanpa membuka surat dan menambahkan angka-angka misterius itu?"

"Saya yakin. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu," Hakan menghela napas, "akan coba ku hubungi dulu."

Hakan Arazi mengambil smartphone-nya dari dalam saku celananya. Tanpa berlama-lama, dia langsung menelpon asistennya yang sedang menunggu di Pontianak. Kebetulan sekali dia tidak ikut ke kapal ini.

"Tunggu-tunggu. Uno tidak ada di kapal ini?" Edo bertanya memastikan.

Tuan Hakan mengangguk. "Dia tadi bilang, kalau dia langsung membawa surat-surat itu ke pos."

"Jadi, bagaimana menurutmu, Edo?" Friska menatap Edo lamat-lamat.

Edo menghembuskan napas perlahan. "Ini sangat rumit. Dari dua kasus pembunuhan itu. Semuanya juga serba rumit. Mark mati karena terjatuh dari anjungan kapal, tapi dengan ketinggian yang tidak terlalu tinggi seperti itu, sangat mustahil orang akan mati. Paling tidak patah kaki. Sedangkan kematian Eza Pahabol, dia mendadak terkena serangan jantung. Itu juga sangat rumit. Pembunuhnya sangat pandai menyusun rencana dan strategi."

"Sebaiknya kita melakukan interogasi satu persatu orang-orang itu saja, Edo. Siapa yang mempunyai alibi paling kuat dan paling lemah. Kita pasti akan tahu." Friska memberi pendapat yang oke.

Edo berkata. "Aku setuju dengan pendapat Friska. Di makan malam nanti, aku akan menginterogasi mereka satu persatu. Dan sekarang, aku akan menanyakan kepada anda dulu, Tuan Hakan."

Hakan Arazi melipat dahi, wajahnya mendadak pucat. "Aku?"

"Ya. Pertanyaan pertama," lanjut Edo, "jelaskan apa saja yang anda kerjakan malam itu?"

"Makan malam. Kalian juga ikut datang kan," jawabnya lebih terlihat santai. "Setelah makan malam selesai. Aku pergi ke kamarku untuk mandi, kira-kira di kamar sampai jam delapan malam. Lalu setelah itu, saya pergi ke bar untuk bertemu dengan Mark, Jimmy, Dokter Ryu, dan juga Putu. Kami bersulang sampai jam sebelas malam."

"Setelah itu, apakah anda pulang lebih dulu?"

"Tidak. Yang keluar lebih dulu yakni si Jimmy. Dia katanya mau tidur dulu. Matanya terlihat merah."

"Jam berapa waktu Jimmy keluar?"

Hakan mencoba mengingat-ingat. "Seertinya jam sepuluh seperempat."

"Lalu?"

"Setelah Jimmy keluar. Mark dan Putu juga keluar. Hanya sekitar lima menit setelah Jimmy kembali ke kamarnya. Setelah itu saya dan Dokter Ryu memutuskan untuk kembali ke kamar pada jam sebelas malam. Saya langsung tidur, dan sama sekali saya tidak melihat Fery dan kekasihnya, Claudia, lalu Eza, dan juga dua model seksi itu."

"Baiklah. Anda mempunyai alibi yang cukup kuat. Tapi aku belum yakin kalau anda akan langsung tidur. Bisa saja anda keluar dan melakukan strategi pembunuhan itu. Anda tetap menjadi salah satu tersangka, Tuan Hakan."

Hakan menunduk lesu. "Yah, aku tahu. Aku pasti akan menjadi tersangka. Tapi, aku sudah mengatakan dengan sangat jujur kepadamu, anak muda."

"Apa sebelumnya anda tidak melihat gerak-gerik orang disekitar Mark sewaktu di dalam bar?" Edo bertanya. Friska mencatat hal penting yang diutarakan Tuan Hakan. Arif sendiri, hanya bengong menatap percakapan mereka.

"Apa ya?" Hakan mencoba mengingat kembali, matanya menatap ke langit-langit kamar. "Oh ya, Putu sempat menawarkan obat tidur kepada Mark. Tapi dia menolak. Itu saja yang saya ingat."

"Obat tidur?" Friska mengguman pelan.

"Apa anda tidak melihat sesuatu yang mereka masukan ke dalam gelas Mark?"

"Sesuatu? Sepertinya tidak. Kalaupun ada yang memberi racun. Pasti dia akan langsung tewas di tempat. Kami mulai minum jam setengah sembilan. Kalaupun salah satu dari kami memberi racun ke dalam gelas Mark, maka dalam setengah jam kedepan, dia pasti akan tewas. Bukan begitu?"

"Ah, baiklah. Cukup segitu saja, Tuan Hakan. Terima kasih sudah memberiku informasi berharga ini. Aku harap atas bantuan Tuan, kumpulkan semua tamu undangan selepas makan malam di aula."

Tuan Hakan lekas berdiri dan menjabat tangan mereka bertiga. "Terima kasih sudah mau membantu, anak muda berbakat. Setelah ini, saya akan memberitahukan semua orang."

Setelah tubuh Tuan Hakan lenyap di balik pintu. Arif merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan santai. "Kalian berdua sama jeniusnya. Kalian mirip sekali seperti pasangan detektif."

"Pasangan detektif. Apa maksudmu?" Edo melotot.

"Kau Sherlocknya, aku watsonnya. Mungkin begitu yang dia pikirkan." Friska tersenyum tipis, menutup buku catatan kecil dan memasukannya ke dalam saku kemejanya.

"Bukan itu yang aku maksudkan, Friska," ucap Arif dengan nada suara yang agak mengejek. "Yang aku maksudkan, Edo ini si Conan Edogawa, dan Kamu, Friska. Kamu yang berperan sebagai Haibara." Arif terkekeh.

Edo dan Friska saling tatap. Menyeringai satu sama lain.

(Next)
Vote dan Komentarnya

7 Surat Berdarah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang