Puluhan deretan bambu berjajar rapi oleh seorang tukang di tempat pesantren Al munnawar, membuat hanya beberapa centi yang tersisa dari satu persatu bambu itu.
Tepat dibalik itu, mataku menangkap sesosok gadis bercadar yang tengah duduk di bangku bale sedang memangku tangan, mata gadis itu melihat kearah belakang sesekali, entah siapa yang ia tunggui.
Aku memandangi nya, namun mataku tidak bisa terus menerus menangkap sosok nya. Sesekali aku memandangi jalanan kecil beraspal, atau buku yang ku pegang di depan dada. Aku tidak berani memandangnya terlalu lama. Aku takut bahwa aku akan semakin menggilainya.
Dan sekali lagi aku memandang nya sembari memperpelan langkah kaki ku, dan aku melihatnya berdiri dari duduknya di bale itu. Dan untuk sepersekian detik kemudian, aku dan dia bertemu pandang. Kaki ku hampir melemah, tak mampu menahan berat badan ku, rasanya aku seperti di beri air pegunungan yang membuatku mencair dari bara api.
Ia memandang ke arahku, matanya menyiratkan kegelisahan. Entah mengapa aku merasa bahwa ia begitu gelisah. Matanya menatapku sendu. Mata indah yang hanya terlihat olehku.
Aku melihatnya berjalan kearah deretan bambu itu, seperti mendekat kearah ku. Aku tidak sanggup, aku memutuskan membuang pandang kearah lain. Ke arah sepatu tali yang mulai usang untuk ku. Aku begini karena tidak mampu, ya tuhan.
"Bukan kah kamu orang yang ada di sana?" Suara itu membuatku semakin melemah, walau kita hanya di batasi oleh pagar bambu, namun aku merasa bahwa dia itu ada di sebelah ku.
Tubuhku berkeringat dingin, bulu ku meremang. "Iya?" Tanya nya memastikan, membuatku meneguk ludahku sendiri. "Ya," jawabku pelan.
Ku lirik dari ujung mata ku, ia nampak menyunggingkan senyum kecil. "Waktu itu ada anak kecil bilang ke aku bahwa kamu ju,"
Belum sempat aku mendengarkan suaranya lagi, suara seorang lelaki menginterupsi. "Fahri mencari mu, dia ingin mengajak mu jalan jalan, Aziya." Ujar lelaki tua itu yang ku dengar suaranya dari ruangan yang nampak seperti dapur, banyak penggorengan dan juga panci tergantung disana. Aku menghela nafas, entah bagaimana dengan segenap keberanian pemikiran ku, ia juga kecewa samanya dengan ku.
"Iya Abi," Jawabnya tak kalah lantang. Aku masih mematung di tempat yang sama. Tidak berani lagi memandangnya walau dari sudut mataku. "Nama ku Aziya, kamu?" Lanjutnya. Aku mendengus kasar, memperat pegangan dengan buku kuliahan ku. "Renaya." Jawab ku berpura pura datar, padahal dadaku ini sudah ingin meledak rasanya. Aku mencoba berpura pura santai untuk kali ini. Tidak ingin meninggalkan kesan buruk pada awal kami berbincang. Ini rasanya seperti mimpi yang bahkan aku sendiri tidak berani untuk membayangkan nya. Kalian tau, selama ini aku belum pernah memiliki keberanian untuk menyapa nya, dan sekarang ia terlebih dulu? Ya tuhan aku seperti memenangkan sebuah jackpot. "Nama mu bagus, aku harus panggil apa?" Responnya. Ya tuhan, sungguh dia adalah perempuan yang memiliki budi pekerti yang baik. Aku tidak habis pikir, kenapa lelaki brengsek macam lelaki yang baru saja disebut namanya harus menjadi pacarnya? Aku tidak mengerti, apakah Aziya menaruh rasa pada lelaki brengsek itu.
"Ren, cukup." Sahut datar. "Aku pergi dulu, Ren. Senang kenal dengan mu." Balasnya tetap ramah. Aku menyunggingkan senyum kecil atas itu semua.
Ia mulai beranjak dari tempat tadi kami sempat berbincang, punggung nya yang nampak kecil itu menghilang di kelokan pintu ruangan yang tadi banyak panci.
Ren, abis mimpi apa kamu semalem? Batinku.
***
YOU ARE READING
Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)
RomanceDengan segenap jiwa dan keberanian aku mencinta Dan aku juga tau kesalahan terbesarku adalah mencintaimu, sejenisku. Sejak awal aku tau kita berbeda Aku ini bagaikan beruang madu, dan kamu beruang kutub Kamu putih aku coklat Itulah perumpaan kita. R...