Jangan Bersedih Aziya-ku (2)

1.1K 91 1
                                    

Setelah ia lega melepas kan kekesalannya terhadap seorang pria brengsek yang ia sebut sebagai calon imamnya kelak, aku mengajaknya ke sebuah gubuk kecil di dekat tempat kami, tidak terlalu jauh lokasinya. Meskipun berkali - kali aku tertusuk duri ilalang yang mulai meninggi.
Ia menatap kearah sana, lurus. Tanpa peduli aku memandanginya. Meski sesekali aku takut ia tau.
Ia melamunkan sesuatu, dan aku tau hal itu.
Dengan penuh keberanian, aku menggerakkan tangan ku menuju bahunya. "Zi," Kataku pelan.
Ia masih terpaku. Terdiam.
Dan aku kini benar benar berani menyentuh bahunya, walau hanya sekedar.
"Lupakan fahri, ada yang jauh lebih baik dari dia. Yakini itu." Titahku padanya, walau aku tidak tau ia mengerti atau tidak.
"Ya, kamu benar. Karena Allah masih menyayangi aku meski dia memberikan kejujurannya seperti itu." Balasnya pelan.
Aku mengangguk dibelakang tubuhnya yang kecil.
Dan kemudian kami terdiam, terperosok kedalam sebuah pemikiran masing masing.
Aku tidak tau ingin mengajak ia bicara apa lagi. Kurasa cukup. Atau mungkin aku menunggu ia yang mengajak ku bicara hal lain.
"Ren,"
Aku hanya bergumam kecil sebagai jawaban. Karena aku sungguh tidak percaya ia memanggil nama ku. "Gimana kamu bisa ada ditempat yang sama lagi denganku? Apa itu juga tempat favoritmu? Atau hanya kebetulan?" Tanyanya bertubi-tubi.
Aku menghela nafas, dan aku tidak suka ia mengajak aku bicara tentang hal ini. "Kebetulan." Jawabku asal saja.
Aku malas membahas lebih lanjut dengan alasan yang beraneka ragam.
"Tapi, kalau nggak ada kamu disana. Mungkin aku sangat terpuruk saat ini." Ungkapnya jujur.
Pupil mataku melebar, mencoba menguatkan hati atas ucapannya. Ia memang pasti sangat bersedih jika tidak ada aku yang menenangkan. Tapi, aku tidak berfikir bahwa ia akan mengungkapkan nya.
"Dan aku bersyukur dekat denganmu, Ren. Rasanya seperti mimpi memiliki teman seperti mu. Aku tau kamu orang baik walau terlihat mengerikan." Lanjutnya.
Aku tersenyum kecil mendengar kan pengakuannya. Ia merasa beruntung berteman dengan ku? Bukankah harusnya aku yang merasa seperti itu? Ini bahkan seperti mimpi bisa bicara lebih banyak dengannya.
Jikalau ini benar adanya mimpi tolong jangan bangunkan aku. Aku hanya ingin tertidur dalam mimpi seperti ini.
"Kamu berlebihan, Ziya. Kamu nggak harus merasa bermimpi untuk berteman denganku." Balasku malu malu.
Dan setelahnya kita mengobrol hal hal umum.
Mungkin ia pun mencoba mengalihkan rasa sakitnya.
***

Aku menatapi mading kampus ku dengan seksama. Banyak dari kawan-kawan ku yang berdecak kecewa melihat hasil skor dari kuis kemarin. Mungkin itu sangat penting bagi mereka, beda dengan ku yang hanya ingin melihat famplet lomba memotret untuk bulan depan dengan hadiah menarik dari si pemiliknya.
Entah apa hadiah yang ia maksud, aku tidak terlalu peduli, aku lebih suka menyibukkan diriku dengan kegiatan, dan aku tidak berharap mendapat hadiahnya. Aku lebih suka sibuk saja.
"Ren, lu nggak penasaran ama skor lu di kuis kemaren?" Tanya teman lelaki yang berdiri disampingku.
Aku hanya mengedikkan bahu perlahan, karena aku kurang peduli.
"Lu nggak tau skor lu masuk 3 besar? Rekor!" Ucapnya heboh.
"Biasa aja." Balasku acuh terhadapnya.
Jari - jemari ku masih menelusuri setiap kata di famplet perlombaan photografi itu.
Setelah ku balas ucapannya dengan keacuhan ku, akhirnya lelaki disampingku terdiam.
Dan aku terus terfokus pada isi famplet itu yang akhirnya aku putuskan untuk ku copot dari mading.

Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)Where stories live. Discover now