Aku, memang bukan lelaki

1.5K 132 3
                                    

***


Aku menarik sebuah amplop coklat yang terselip di kotak surat depan kost ku yang berwarna oranye.


Tertera bahwa itu surat untuk ku dari cafe yang aku kirimkan lamaran beberapa minggu lalu. Aku tersenyum hangat saat memegangnya.


Berharap bahwa aku lulus seleksi menjadi pelayan di cafe itu.


Dengan langkah besar, aku menuju teras kost. Dengan hati penuh kegelisahan aku membuka amplop itu dengan cepat. Dan aku tidak terlalu suka membuang waktu.


Dengan satu kali tarikan nafas, aku melihat satu kata saja di dalam kertas putih berukuran A4. 'LULUS' aku kembali menghela nafas lega. Ku peluk erat kertas putih itu.


Setidaknya pekerjaan ini akan membuatku tidak terlalu memberatkan ibu ku.


Sejujurnya dari segi keuangan aku memang berkecukupan. Namun, aku ingat ibu juga mulai menua, tidak mungkin terus terusan membanting tulang demi biaya kuliahku. Setidaknya dengan cara seperti inilah aku bisa menabung untuk biaya buka usaha yang sebenarnya di jalurku.


Aku sudah merencanakan nya secara rapi dan baik. Aku tidak ingin jika tidak menjadi pengacara lantas aku beralih menjadi pengangguran, setidaknya aku juga harus memiliki batu loncatan.


Tak berselang lama, Handphone ku berbunyi nyaring. Menandakan ada SMS masuk. Aku segera merogoh saku celana pendek ku. Ada satu nomor tidak ku kenal tertera dilayar handphone ku. Aku mengerenyit bingung.


Aku memutuskan untuk membuka SMS itu.



Dari : 08965677xxxx



Hey




Hey? Aku mencoba mengingat ingat siapa saja yang memakai provider 3, namun aku merasa bahwa semua teman yang memakai kartu itu aku langsung namai. Tidak hanya nomer seperti ini, siapa orang ini? Aku bahkan hanya memiliki kontak 34 saja. Selebihnya itu keluarga. Tidak ada teman ku yang suka mengirim sms dengan kata Hey. Sama sekali tidak.



Aku memutuskan untuk mengabaikan orang ini. Aku tidak perduli orang ini cewek atau cowok. Yang pasti akan ku hajar bila aku tau siapa orangnya. Sungguh pengecut!


***



Api unggun di acara hiking kampus ku mulai membara dengan api yang membesar. Membuat 25 orang di sekitaran nya menjadi hangat. Termasuk aku yang sedang asyik dengan duniaku sendiri, memetik gitar dengan pandangan kosong.


Samping kanan dan samping kiriku mereka juga tengah asyik bersenda gurau, tertawa terbahak bahak, ada yang mengunyah kripik pedasnya. Aku hapal betul kalau itu kebiasaan si gendut Erna. Dimana mana hidupnya pasti tidak akan jauh dengan kripik favoritnya. Wajahnya saja hampir ketutup oleh pipi nya yang terlalu membengkak.


Aku tersadar dari lamunan ku tentang gadis cantik bercadar hitam itu saat aku merasa bahwa ada yang menempuk kepala belakang ku dengan benda yang lumayan keras. Aku yakin itu batu.


Dengan berat hati, alias hati yang mulai gondok, aku menoleh ke arah belakang. Melihat itu hasil perbuatan siapa.


Ternyata hasil perbuatan teman ku yang menurutku brengsek. Dasar Ardi! Tidak pernah kapok mengerjai aku rupanya ia.


Aku menanggalkan gitarku sembarang. Aku melihat dia yang masih cengengesan. Gayanya membuatku jijik, sumpah dia itu ganteng. Tapi, di depan ku dia bergaya slengean dan tidak peduli imagenya yang sok cool.


Aku langsung menghujani nya dengan jitakan yang membabi buta. "Lo, sumpah! Temen terbrengsek yang pernah gue punya." Ujarku setelah puas menghadiahi nya dengan jitakan.


Ardi bereaksi datar saja. Nampak dari matanya ia ingin mengungkapkan sesuatu kepadaku.


"Cepet, lo mau ngomong apaan." Sadar akan maksud ku yang mengerti arti tatapannya. Ia mulai gelagapan dan agak sulit menelan ludahnya sendiri. Terlihat dari jakunnya yang naik turun. "Ajarin gue bela diri," Ujarnya dengan intonasi yang cepat. Aku belum sempat memahami dan mendengar semua perkataannya. "Demi Lila!" Selorohnya. Aku menatapnya sengit. Sumpah, lelaki modis plus modus ini mau belajar bela diri buat pacarnya yang baru 3 mingguan itu? Gila!


"Sambet apaan lo? Gue ngajarin nggak gratis. Sekalipun lo temen gue." Jawabku ogah ogahan. Terlihat Ardi memutar bola matanya malas.


"Iya, iya. Gue bayar deh." Balasnya lesu. Aku tersenyum sumringah mendengarkannya. Wah, asyik nih. "Tapi, harga temen." Lanjutnya dengan senyuman 5 jarinya. Sungguh lebar, dan aku yakin kalau seribu gerombolan lalatpun bisa langsung masuk ke mulutnya


Aku menendang tulang keringnya cepat. Membuatnya mengaduh sembari memegangi lututnya.


Aku tersenyum puas, salah sendiri cari gara gara dengan orang seperti ku.


Malam itu aku melihat Ardi mengadu manja pada Lila via telepon. Aku memandanginya tajam, saat ia mulai melebih lebihkan dengan nada dan gaya cowok manja. Sumpah itu membuat aku yang ada di sampingnya sangat muak.


"Ren, gitarin. Gue yang nyanyi. Mau nyumbang dimalam ini supaya nggak sepi." Ucap salah seorang lelaki di kelas ku. Aku meliriknya sebentar, menelisik nya. Menatapnya tidak percaya. Setau ku Gio ini cowok yang ceriwis dan suaranya itu memekakan telinga bagi siapa saja yang sengaja atau tidak sengaja mendengarnya. "Sakit telinga gue bisa - bisa." Jawabku ketus. Gio tersenyum kecut, nampaknya ia tersinggung karena ucapan ku.


"Suara gue tuh yang asli nggak gini. Sumpah, lo cuma kurang mendalami gue aja." Elaknya sok pede. Aku tersenyum mengejeknya. "Ok, sekali lo bikin kuping gue sakit. Gue langsung getok kepala lo pake ujung gitar." Ancam ku.


Tiba tiba aku merasa ujung kaos ku ada yang menarik, aku menoleh ternyata aku melihat Ardi sudah tak lagi sibuk dengan handphonenya. Ia seperti mau memberikan ku bisikan. "Duh, pake diiyain lagi lo mah." Keluhnya. Aku hanya mengedikkan bahu seraya memetik senar gitar ku. Membawakan lagu Anda untuk OST Heart.



"Jangan sebut aku lelaki...


Bila tak bisa dapatkan engkau.."



Aku terperanjat kaget saat mendengar suara dari seorang Gio, itu kah suara aslinya? Aku menatapnya tidak percaya. Ketidak percayaan ku tenggelam saat lagu itu berakhir dan Gio mulai menerima tepuk tangan yang meriah. Seluruh mata tertuju kearah ku. Aku tidak mengerti apa arti tatapan teman teman kelas ku itu.


"Haha, Kode!" Dan gurauan itu juga tenggelam dalam sambutan tawa yang menggelegar dari beberapa anak lelaki lain.


Aku memang bukan lelaki, aku tidak bisa berharap mendapatkanmu juga. Batin ku berbisik lirih saat aku kembali memetik senar gitar dengan nada sembarang.

Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)Where stories live. Discover now