Ide Ardi

1.1K 80 1
                                    

Mentari bersinar terik di kota ku. Beberapa orang di taman kota mulai memilih tempat untuk berteduh. Berlindung dari sinar mentari yang membakar kulit.
Untungnya aku memakai body lotion yang spf 20.
Aku membawa gitar dibelakang punggungku. Hari ini di taman kota akan ada pertunjukan dari aku, Ardi si konyol yang merasa cool, dan Ari dari jurusan seni. Ari terkenal dengan accent nya yang casual dan dia juga vokalis band di cafe kota ku. Beberapa minggu lalu, aku dan Ardi di undang ke cafe tempat ia biasa manggung dengan kawanan nya. Ternyata memang mengagumkan penampilannya. Penonton disana meneriaki namanya dan bertepuk tangan heboh karna nya.
Dia berancana membawa dam-dam, dan Ari membawa mik kesayangannya berwarna putih.
Kami ada akan melakukan penggalangan dana disini untuk anak anak tidak mampu, karena ini weekend, kami yakin banyak pasangan muda mudi yang berkunjung ke taman kota dan memberi sedikit pundi pundi untuk kami kumpulkan dengan target 7 hari kami, kami akan menolong 100 anak yang kurang beruntung.
Ini bukan ide ku, ini ide Ardi. Kebetulan Ardi itu suka anak anak. Jadi mau tidak mau harus ikut usulnya.
Aku melirik sebentar ponsel yang tadi ku genggam.
Berharap ada sms masuk karena aku tidak memakai nada dering dan memilih silent mode.
"Duh, ini orang kemana sih. Ngaret mulu." Aku menggerutu sendiri karena ulah dua orang ini.
Karena aku tidak terlalu kenal Ari, aku jadi tidak bisa menduga yang tidak tidak tentang keterlambatannya. Tapi, Ardi? Ini aku sudah hafal dengan tabiatnya. Dia mungkin main dulu dengan pacar barunya setelah putus dengan yang lama.
Aku berjalan mondar mandir, layaknya setrikaan yang sedang dipakai untuk menggosok pakaian kering.
"Oy, Ren!" Teriak seseorang dari arah sebrang ku, aku melihat sosok Ardi yang berlari dengan tergesa gesa dengan Ari yang berjalan santai disampingnya. Ouh god, mr. Rempong datang.
"Gila, ngaret lo!" Tegurku pedas.
"Wah, gila lu. Kasih gua waktu buat napas kek, ini dah dimarahin duluan. Gua agak susah nyari taman kota di kota kita, dol. Taman kota kan bukan ini doang. Lah gua ama Ari datang kesetiap taman kota." Balasnya masih dengan nafas yang setengah setengah.
Ari terlihat santai dengan tatapan matanya yang tidak menyiratkan apapun. Nampak biasa saja.
"Lah, lo bego. Lo bisa telepon gue. Gitu aja nggak ada akal." Sungutku masih tidak ingin kalah.
"Halah dah apal gue ama tabiat lu, lu kalau ditelepon mana tau. Yang ada gue ngedengerin nada tunggu doang-_-hape lu kan always silent mode." Jawabnya nyolot.
Terlihat Ari memutar bola matanya jengah.
Nampaknya ia tidak suka keributan.
"Udah, jadi nggak sih? Ribut mulu, nggak aus apa lu pada?"
Ia pun mulai ikut dalam perbincangan ini.
Kurasa ia melerai aku dan Ardi yang tetap kekeuh pada omongan masing masing.
"Aus!" Jawab aku dan Ardi berbarengan.
Kemudian kami saling berpandangan sebal. Dia mencebikkan bibirnya sok imut. Inilah Ardi yang sebenarnya. Dia kekanak-kanakan sekali.
***

Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)Where stories live. Discover now