Aku, si sabuk hitam

1.8K 140 3
                                    

Aku menatap ribuan lembar kertas usang di buku hukum ku, sebenarnya aku paling malas berkutat dengan banyak pasal di buku tebal ini. Tidak ada gunanya kurasa, aku ini tidak berniat mengambil kuliah hukum, ini demi kemauan ibu ku saja. Rasanya aku hanya ingin membalas kebaikannya secara formal. Makanya aku begini.
Aku membolak balik lembaran demi lembaran, sebenarnya tulisan ini tidak pernah masuk ke dalam otak ku yang terdalam, aku hanya mencoba menjadi mahasiswi yang baik di semesternya, walau sana sini menyalin pekerjaan teman kelas.
Hembusan angin di gazebo kampus ku, membuat rambut yang ku kuncir kuda agak sedikit tidak rapi, anak - anak rambut ku mencuat keluar dari barisannya. Aku menghela nafas kesal. Berpura pura fokus menatap ribuan huruf di buku tebal ku, sampai ku lihat ada sebuah gelas berisi jus alpukat dengan susu coklat di hadapan ku. Aku melirik sebentar kearah tangan yang menyodorkannya. Tangan yang penuh dengan guratan urat - urat.
Tetesan air dari gelas itu membasahi meja kayu ku. Aku rasa orang itu duduk di depan ku.
Siapa dia sebenarnya? Aku bahkan tidak terlalu dekat dengan mahasiswa disini, aku hanya mengabsen muka ke kampus juga. Siapa orang ini? Aku bahkan tidak mengenalnya.
"Lo terlalu serius," Komentarnya datar. Aku menaikkan alis ku, mencoba mendongak menatap siapa orang yang ada di depan ku. Suaranya asing, teman lelaki ku di kelas tidak ada yang memiliki suara bass rendah, aku menatapnya nyalang.
Lelaki di depan ku ini juga menautkan alis matanya sama dengan ku. Aku mendengus kasar, sok tau sekali dia ini. Aku bahkan hanya berpura pura fokus, dan serius. "Lo nggak punya temen? Dari tadi gue liat lo sendirian aja disini. Lo pendiem? Atau kutu buku?" Lanjutnya dengan nada suara yang mulai angkuh.
"Gue nggak perlu komen lo." Jawab ku tidak kalah angkuhnya.
Ia melipat tangan nya di depan dada. Kaos polo hitam nya membuat sebagian otot tangannya terekspos bebas. "Minum lo, ambil balik." Lanjutku seraya kembali fokus ke buku. Dia tertawa merendahkan didepan ku. Suara tawanya terdengar, aku membuang nafas kasar karena lelaki sengak ini. Apa maunya?
"Apa mau lo?" Tanya ku pada akhirnya. Ia memandangi ku dengan tatapan aneh, seperti sedang menelanjangi ku secara tidak kasat mata. Tangan kanan ku menyodorkan kembali gelas jus alpukat miliknya. Aku sungguh tidak butuh pemberian lelaki ini, dari gayanya saja membuatku menaruh fikiran bahwa dia bukan lelaki baik. Dia ada maksud, aku tau dari gestur nya. "Santai, sebenernya gue tau kok, lo nih nggak serius baca. Dari tadi kerjaan lo tuh cuma bolak balikin kertas doang." Jawab nya enteng. Dia terlihat menghela nafas, aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana ia bisa tau aku ini tidak serius dengan bacaan ku sendiri?
"Tinggalin dulu buku lo, kita bicara santai aja. Gue nggak suka dalam keadaan tegang, ini bukan sidang paripurna kok. Santai aja jadinya." Lanjutnya dengan suara pelan. Aku meliriknya sebentar, mataku menyelidik cowok ini. Tidak habis fikir, kenapa sih harus ada manusia pengganggu macam dia di kota ini? Bukan kah lebih enak hidup di kota yang banyak orang apatis nya? Mereka tidak peduli dan tidak ingin tau dengan kehidupan orang lain yang mereka tidak kenal atau bahkan mereka kenali sekalipun.
Aku segera menutup buku tebal ku, dan beralih menatapi nya lagi. "Kenalin, Kendra," Ucapnya seraya menjulurkan tangan kirinya ke arah ku. Aku menatapnya heran, dia ini sudah sengak juga tidak memiliki tata krama. Aku mengangkat bahu cuek, tidak menerima uluran tangannya. "Sorry, gue kidal." Lanjutnya, aku rasa ia menyadari ketidaksopanan nya. Ku lihat ke arah tangannya yang penuh guratan urat, ia masih mengharapkan bahwa aku akan menerima uluran tangannya untuk berkenalan. "Ren," Sahutku datar, aku tidak menerima jabatan tangannya sedari tadi. Sadar aku ini jutek dan ketus, ia mulai menurunkan tangannya dengan tingkah laku yang gugup. "Fakultas hukum?" Tanyanya. Aku mengerutkan dahi saat mendengar pertanyaan dari nya. Pertanyaan macam apa itu? Mana ada lagi mahasiswa atau mahasiswi yang memiliki buku setebal ini. Aku rasa ia hanya berbasa basi untuk memperpanjang acara bicaranya dengan ku. Buat apa? "Menurut lo?" Balasku ketus, ia nampak tersenyum kecut karena ku. "Ketus." Jawabnya seraya tertawa kecil. Aku berdecih najis karena orang di depan ku ini. Siapa dia sok menilai ku? Teman kelas ku saja tidak ada yang mencampuri urusan ku. Tapi, dia orang yang baru ku kenal beberapa puluh menit yang lalu. Dan dia sudah se-sok tau ini?
Aku menghela nafas, agaknya lelaki ini perlu di kasari dan di beri bukti konkrit ya? Biar dia tau siapa yang dia ajak bicara.
Aku mulai berdiri dari duduk ku, siap mengepalkan tinjuan dari tangan kanan ku yang sudah ku siapkan begitu kuat agar bisa membuat tulang hidungnya bengkok sedikit.
"Eh, mau apa lo? Kok pake acara bediri segala." Protesnya saat ia melihat aku sudah berdiri tegak sempurna. Kepalan ku masih ku sembunyikan di bawah meja.
Dengan satu hentakan dari detik setelah ia mengutarakan komplain nya, tinjuan ku sudah bersarang tepat di tulang hidungnya.
Ia mengaduh sakit memegangi tulang hidungnya, terlihat aliran darah segar mulai mengucur deras, membercak di jari jari tangannya. "Itu akibat kalau lo macem macem ama gue, itu belom seberapa, biasanya ada yang langsung masuk UGD." Aku berucap datar sembari melipat tangan di depan dada. Aku memandangnya tanpa dosa. Seperti tidak melakukan hal barusan. Aku jadi ingin tertawa kalau ingat suara ringisan nya. Itu lebih dari respon seorang cewek yang habis di jambak rambutnya.
Lantas ia memandang ku dengan tatapan takutnya. "Gue makin penasaran malah." Balasnya sesekali meringis. "Terserah. Besok bakal gue bikin lo masuk UGD langsung kalau masih begini."
Terlihat ia memutar bola matanya tidak perduli akan ancaman ku.
***

Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)Where stories live. Discover now