Di tempat yang sama aku kembali memandangi wajah Aziya.
Ilalang ilalang semakin tumbuh meninggi dikota ku. Membuat ia yang berjalan disana tidak terlalu terlihat.
Aku terus menerus menatapi nya dari jauh, dari balik pohon ini yang sudah ku anggap sahabat.
Tapi, ada yang berbeda hari ini. Wajah cantiknya terlihat murung, ia seperti menghadapi hal yang tidak bisa ia kuasai. Terlihat dari tatapan matanya yang kosong. Karna aku tau, ia selalu senang dan riang setiap kemari. Entah ada angin apa yang membuatnya kemari disaat ia bersedih.
Aku tidak berani menduganya, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Ingin rasanya aku kesana, menyapa dan menanyai nya kenapa. Tapi, aku merasa tak layak, dan aku takut ia malah berfikir kenapa aku ada ditempat yang sama lagi dengannya. Bukan kebetulan.
"Ada apa, Zi." Tanyaku pada diri sendiri.
Aku merasa tidak bisa melakukan apapun. Merasa tidak berguna, apa gunanya aku sebagai manusia. Kenapa aku terlalu pengecut? Aku bagaikan seorang bajingan kecil yang lari dari sebuah masalah.
Tangan ku terkepal keras di pohon tua ini, menatapinya terus menerus, meski aku sadar ia tidak tau bahwa aku memandanginya. Tau tentangnya. Rasanya aku lebih dari seorang penguntit.
"Ya allah, apa salahku? Sampai kau berikan cobaan seberat ini kepada hamba?" Ucapnya sendirian. Dan aku melihatnya meneteskan air mata disudut matanya.
"Zi," Ucapku pelan.
Aku menghela nafas pelan, dengan ekspresi wajah penuh keraguan, aku mulai berjalan kearahnya yang sedang berdiri sembari memegangi daun ilalang.
Aku meninggalkan persembunyian ku.
Meninggalkan kepengecutanku selama ini.
"Ziya," Panggilku dihadapannya.
Ia terlihat kaget saat aku menghampirinya. Aku tau inilah hasilnya. "Ren?" Ia membalasku.
Aku tersenyum takjim, mengiyakan. Dan ia terlihat menghapus sebulir air mata itu.
Aku ingat bahwa ibuku selalu mengingatkan aku tentang sapu tangan yang harus selalu ku bawa kemanapun. Mungkin ini akan berguna untuknya.
Bukannya, mungkin lagi. Ini sudah pasti.
Aku merogoh saku celana jeansku yang menyimpan sapu tangan hitam.
"Hapus, Ziya." Titahku lembut sembari menyodorkan sapu tangan untuknya.
Ia terlihat meragu sembari menatapi mataku.
Mencoba bertanya dalam tatapannya. untuk apa?
"Ambil, aku nggak suka ngeliat teman menangis." Lanjutku lagi. Saat ia tidak mau mengambil sapu tangan yang ku tawarkan.
Rasanya lidahku kelu saat mengucapkan kata teman itu. Tidak rela rasanya. Tapi, apa pantas jikalau aku mengutarakan nya secara lugas bahwa aku menyukainya dan menganggapnya bukanlah teman?
Dengan tangan yang bergetar ia meraih sapu tanganku. Dan menempelkannya di matanya yang sembab. Mencoba menghapus linangan air mata yang masih ada.
"Ada yang menyakitimu?" Tanyaku pelan saat ia mulai mengembalikan sapu tanganku yang mulai rembes karena air matanya.
Ia memandangiku dengan tatapan yang bulat sempurna, aku tau ia kaget dengan pertanyaanku.
Pertanyaan yang tidak masuk akal baginya. Siapa aku ini untuknya?
"Bagaimana kamu bisa tau?" Tanyanya.
"Karna kamu menangis," Jawabku seadanya. Mencoba mencari jawaban yang logis disela sela degupan jantungku. Ia kemudian menunduk dalam dalam.
"Fahri, dia ternyata bukan lelaki yang baik untukku. Aku sudah jatuh cinta terhadapnya, berharap bahwa ialah imamku nanti, tapi yang ku dapat cuma sebuah pengkhianatan dari sosoknya." Ucapnya parau.
Bibirku bergetar tiba tiba, seperti mengigigil mendengarnya.
Dengan langkah kecil ku disertai kaki yang gemetar, aku berjalan mencoba menghampirinya lebih dekat lagi.
Dengan satu kali tarikan nafas, aku perlahan meraihnya dalam pelukan ku yang meragu. Aku tidak peduli dia berfikir aku aneh atau apa. Yang aku tau ini naluriku sendiri.
"Dia, menduri wanita lain, Ren." Lanjutnya sedih didalam dekapanku.
Bagaikan bom waktu yang tinggal tersisa satu detik lagi, aku merasa bahwa nafasku sudah habis dan aku sudah tidak bisa merasakan udara lagi.
Dan di persekian detik kemudiannya, aku merasakan ia membalas dekapanku erat.
"Aku sudah jatuh cinta dengan sosok yang abah tawarkan, aku sudah jatuh cinta saat pertama kali bertemu dengannya. Apa salahku sebenarnya? Kenapa ia tega memakai topeng untukku?" Racaunya.
Aku tidak mampu membalas ucapannya. Biarkan kali ini ia mengeluarkan seluruh kekesalannya.
Dan aku pun membiarkan telingaku tahan mendengarkan keluh kesahnya karena lelaki bajingan itu.
***
YOU ARE READING
Ijinkan Aku Melafadz Allah (GXG)
RomanceDengan segenap jiwa dan keberanian aku mencinta Dan aku juga tau kesalahan terbesarku adalah mencintaimu, sejenisku. Sejak awal aku tau kita berbeda Aku ini bagaikan beruang madu, dan kamu beruang kutub Kamu putih aku coklat Itulah perumpaan kita. R...