Puri menatap foto resepsi pernikahannya dengan Radit. Airmatanya mulai membasahi pipinya. Rasa bersalah bersarang pada hatinya karena tak mampu menjadi istri yang baik untuk Radit, suami yang sangat baik untuknya.
"Haruskah aku melepasmu dit? Kamu terlalu baik untukku. Kamu terlalu sempurna sedangkan aku hanya wanita cacat yang tak bisa apa-apa. Haruskah aku mengabulkan permintaan bunda untuk mengijinkan menikah lagi? Seharusnya ini tidak terlalu berat untukku dit. Karena aku belum mencintaimu. Tapi kenapa berat sekali mengabulkan permintaan bunda. Sakit dit. Seakan ada yang menggores hatiku melihat bunda memohon seperti itu." batin Puri menangis.
Radit sedang pergi mengantarkan bundanya ke Stasiun untuk pulang. Beberapa hari ini bunda Radit menginap dirumah Puri untuk menengok sang putra dan menantunya.
Flashback On
"Puri... Bunda ingin bicara berdua sama kamu. Boleh?" tanya bunda pada menantunya. Saat itu Puri sedang membaca novel dikamarnya.
"Boleh bunda. Silahkan masuk bun." kata Puri santun.
Bunda Radit langsung memeluk menantunya sayang. Puri hanya diam dengan perlakuan mertuanya.
"Bunda kenapa? Kok bunda nangis?" tanya Puri heran.
"Bunda cuma gak menyangka bahwa bunda punya menantu yang sangat kuat. Bunda bangga sama kamu sayang. Allah mengujimu sangat berat tapi kamu menyikapinya dengan sangat lapang."
"Bunda... Puri juga cuma manusia biasa. Puri pernah terpuruk. Anak bundalah yang hebat. Dia yang membuat Puri kuat. Terimakasih karena bunda telah mengijinkan Puri memilikinya."
"Puri... Apa rencanamu setelah ini? Apa kalian akan mengangkat seorang anak?"
"Puri belum tau bun. Radit belum mau membahas masalah ini."
"Puri... Bolehkah bunda meminta sesuatu sama kamu?" tanya bunda ragu.
"Boleh bunda. Kalau Puri bisa memberikan apa yang bunda minta pasti akan Puri kasih."
"Bunda meminta keikhlasanmu nak."
"Maksud bunda?"
"Bunda ingin kamu ikhlas mengijinkan Radit untuk berpoligami. Radit itu anak satu-satunya bunda. Sebagai seorang ibu, bunda sangat ingin memiliki cucu dari anak bunda. Bunda tau ini sangat berat untuk kamu tapi bunda yakin kamu pun ingin memiliki seorang anak kandung suamimu. Bunda meminta ini bukan berarti bunda gak sayang sama kamu Puri. Bunda sangat menyayangimu. Kamu tetap menantu kesayangan bunda."
Puri terkejut mendengar permintaan mertuanya. Bagaimana tidak, mertua yang sangat ia sayangi memintanya ikhlas berbagi. Entah kenapa tiba-tiba airmatanya jatuh begitu saja. Puri mencoba tersenyum dan menghapus airmatanya. Bukan hanya dia yang menangis. Mertuanya pun menangis.
"Bunda sudah memiliki calonnya untuk Radit?" tanya Puri
"Belum. Bunda ingin kamu yang memilihnya untuk suamimu. Kamu yang akan menjalani hidup dengannya."
"Puri akan mencoba bicara dulu sama Radit ya bun. Nanti kalau Radit setuju Puri akan mencoba mencarikan wanita yang mau hidup dengan kami."
"Terimakasih sayang. Maaf kalau bunda menyakiti kamu. Bunda hanya ingin yang terbaik." kata Mertua Puri. Beliau memeluk puri lagi. Puri tak mampu lagi menahan airmatanya.
"Puri mengerti kok bun. Maaf kalau puri tidak bisa menjadi menantu yang bunda harapkan."
"Puri gak perlu meminta maaf pada bunda. Bunda sangat tau bagaimana perasaan kamu nak."
"Terimakasih bunda."
"Yaudah bunda keluar ya. Kamu istirahat ya sayang." kata Bunda sambil mencium kening Puri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
SpiritualHujan membawamu padaku, mengenalkan tentang cinta. Namun karena hujan aku merindumu dan karena hujan aku harus melupakanmu, meletakkanmu sebagai masalalu