Bagian 10

2.7K 145 0
                                    

Radit telah pulih setelah menjalani perawatan selama satu minggu dirumahsakit. Meski saat berjalan, Radit masih membutuhkan bantuan tongkat untuk menopang tubuhnya, karena kaki kirinya mengalami patah tulang sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. Sekarangpun Radit telah kembali masuk kuliah setelah izin 2 minggu.
Sedang Puri, dia masih tetap setia dengan tidur panjangnya. Entah sampai kapan dia akan menjadi putri tidur. Hanya tawakkal dan doalah yang dapat dilakukan keluarganya. Dokterpun seakan menyerah, cuma keajaibanlah yang mampu membuatnya membuka mata.
"Nak? Kamu dengar ibu kan? Bangunlah Nduk. Buka matamu sayang. Sudah dua minggu kamu tidur tanpa membuka matamu. Ayolah nduk buka matamu, katamu dua minggu lagi kamu UAS semester 4. Kurang 2 semester lagi kamu akan lulus menjadi seorang bidan. Itu kan nduk yang kamu tunggu-tunggu dari dulu. Bangunlah nduk. Ibu kangen kamu nduk, bapakmu juga, simbok sampek ikutan sakit dirumah mikirin kamu yang gak bangun-bangun. Khai juga kangen banget sama kamu nduk. Katanya sepi kalau gak ada kamu. Dia lagi sibuk buat persiapan masuk kuliah sekarang. Dia mau ambil jurusan dokter sekarang nduk. Kayak usulanmu dulu. Kamu gak kangen sama ibu ta nduk? Bapakmu? Simbok? Khai? Sama yang lainnya juga?" Kata Ibu Dewi, ibunda Puri sambil menghapus airmatanya yang telah membanjiri pipinya. Tubuh Dewi menegang ketika ada beberapa orang yang memeluknya. Intan, Fika dan Hilma memeluk Bu Dewi sambil terisak.
Ketiga sahabat Puri setiap seminggu sekali akan mengunjungi Puri. Menyemangati sahabatnya yang saat ini tengah berjuang melawan maut. Kewajiban mereka menjadi mahasiswa yang hendak UAS membuat mereka tak bisa leluasa mengunjungi sahabatnya. Raditlah yang selalu datang menemui Puri. Setelah pulang kuliah, Radit akan langsung kerumahsakit. Duduk tak jauh dari tempat tidur Puri. Radit seakan enggan beranjak dari ruangan itu, keinginannya hanya satu ketika Puri membuka matanya, Radit ada disana. Melihatnya terbangun dan tersenyum.
Seperti saat ini, Radit tengah duduk ditempat favoritnya melihat ketiga sahabat Puri mencoba menguatkan bu Dewi.
"Ibu... ibu harus terus semangat. Puri butuh dukungan dan doa kita. Ibu jangan menyerah. Ada kami yang akan selalu ada buat ibu. Meskipun kami seminggu sekali kesininya. Tapi kami selalu berdoa untuk kesembuhan Puri." Kata Hilma sambil terisak
"Terimakasih sayang. Kalian selalu menyempatkan waktu kalian untuk menjenguk Puri."
"Kami sayang sama Puri tante. Kami juga sayang sama tante. Tante jangan sedih lagi ya." Kata Intan juga dengan terisak.
"Sekarang sebaiknya tante istirahat dulu. Biar kita yang jagain Puri." Kata Fika sambil menuntun bu Dewi untuk tidur ditempat tidur sebelah Puri yang memang sengaja dikosongkan.
"Loh Dit? Kamu kapan datangnya?" Tanya Dewi ketika menyadari kehadiran Radit.
"Radit bareng sama mereka bu. Ibu sudah makan?"
"Sudah kok. Tadi Khai kesini sebentar buat minta doa restu besok dia mau ujian masuk perguruan tinggi. Sekalian bawain ibu makan. Kamu kalau belum makan, makan dulu gih."
"Tadi Radit udah makan dikantin kok bu sebelum kesini. Ibu istirahatlah." Kata Radit lembut. Bu Dewi hanya mengangguk.
Selama hampir sebulan Dewi selalu ditemani Radit dalam menjaga Puri. Bahkan rumah sakit ini seakan telah menjadi rumah kedua untuk Radit. Semangat Radit lah yang selalu membangkitkan semangat Dewi yang kadang menurun.
"Gue ke mushola dulu ya rek. Ntar kalau ada apa-apa kalian hubungi gue." Kata Radit sambil berlalu meninggalkan ketiga sahabat Puri.
Setiap ashar Radit memang selalu menyempatkan untuk menemui seorang ustadz untuk menambah wawasan dan ilmu agamanya. Radit tidak sengaja mengenal Ustadz Rasyid saat dulu dia benar-benar terpukul saat Puri kritis seminggu setelah kecelakaan mereka. Radit sangat kacau kala itu. Ustadz Rasyid menghampirinya, memberinya nasehat serta dukungan untuk Radit.
Ustadz Rasyid sendiri sebenarnya salah satu pasien rumahsakit pengidap kanker darah stadium 3. Semangat hidup Rasyid lah yang mampu membakar semangat Radit sampai saat ini.
"Assalamualaikum Dit." Kata Rasyid memberi salam.
"Waalaikumsalam tadz. Ustadz kurang sehat? Wajah ustadz lebih pucat dari biasanya loh."
"Ana baik-baik saja kok Dit. Ya beginilah kalau tubuh udah dipenuhi sama penyakit. Makanya antum jangan lupa bersyukur karena Allah masih mempercayakan sehat pada antum."
"Sukron tadz udah diingatkan."
"Sudah jadi kewajiban kita untuk saling mengingatkan Dit. Bagaimana kabar Puri Dit? Belum ada perkembangan?"
"Belum. Masih sama kayak kemarin. Kayak Snow White."
"Kalau snow white ya tinggal dicium cinta sejatinya habis itu bangun."
"Ngaco ustadz ini mah. Itukan cuma cerita dongeng."
"Loh siapa tau Allah nitipin obatnya lewat ciuman kan ya hanya Allah yang tau Dit. Tapi inget gak boleh nyium sebelum jadi mahram."
"Udah deh tadz jangan makin ngawur deh omongannya."
"Loh saya gak lagi ngawur lo Dit. Siapa tau aja kan. Selesain kuliahmu dulu, cari kerja yang layak. Baru setelah itu pangeran baru boleh menghalalkannya. Rezeki, jodoh dan maut sudah ditulis di lauhul mahfudz. Yaudah yuk sholat dulu. Dit adzan." Kata Rasyid sambil berdiri keluar dari kursi rodanya dibantu Radit.

Marhaban ya ramadhan ya. Mungkin setelah ini bakal slow update karena kegiatan penulis semakin padat dikampus yang tak kenal libur. Jangan lupa votenya ya. Sukron

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang