Bagian 21

4.8K 177 3
                                    

PURI POV
Siapa yang menyangka bahwa wanita cantik yang sering menemaniku terapi dulu itu adalah kakak dari suamiku. Dia wanita yang sangat baik. Bahkan sinar kebahagiaan selalu terpancar darinya. Tapi siapa yang menduga dia sangat menderita.

Aku mendekap erat sosok mungil yang kini ada dalam gendonganku. Farzana Malayeka Kirei. Dia anakku. Selamanya akan selalu begitu. Meskipun ia tidak terlahir dari rahimku. Aku menyayanginya sangat menyayanginya. Keluargaku pun menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Bahkan Khai dan Kahfi sampai berebut untuk menggendong dia kala kami pulang ke rumah.

Tak ada lagi kesedihan dalam hatiku. Tak ada lagi niatan untuk meminta Radit mendua. Membayangkan hidup bersama dengan wanita lain sudah membuatku sakit. Tak lagi aku meminta hal bodoh yang belum tentu aku sendiri bisa menerimanya.

"Terimakasih Dit. Lagi-lagi kamu memberikan kebahagiaan untukku." kataku saat sebuah tangan memeluk leherku. Aku sangat hafal siapa dia. Tentu saja dia suamiku. Orang yang tak pernah lelah ada dihidupku.

"Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku sayang. Jadi bagaimana masalah poligami? Masih memintaku untuk berpoligami? " tanya Radit menggodaku. Aku secara otomatis mengerutkan bibirku. Bahkan aku sudah lupa tentang itu semua.

"Gak jadi. Aku berubah fikiran." kataku singkat. Radit terkekeh pelan.

"Kenapa? Padahal aku udah siap mental loh buat punya istri lagi. Kan lumayan kalau punya istri dua. Kalau yang satunya ngambek bisa ke satunya lagi. Gak perlu lah tidur sendirian di sofa kayak dulu-dulu." kata Radit langsung mendapat tatapan tajam dariku. Bagaimana bisa dia berkata begitu? Bukankah kemarin dia yang menolak keras adanya poligami. Ini kenapa jadi dia yang menanyakan sih.

"Gak jadi dan gak akan pernah terjadi. Jadi jangan mimpi." kataku kesal. Bukannya bilang maaf atau apa Radit justru menciumku tanpa permisi.

"Syukurlah kalau gitu. Aku gak akan sanggup membagi cintaku lagi. Cukup kamu dan Mala." kata Radit sembari memelukku lagi. Aku menangis dalam pelukannya.

"Ya cukup kamu dan Mala yang ada dalam hidupku. Aku mencintaimu Radit Alfiansyah Habib." kataku sembari mencium tangan suamiku

"Apa kamu bilang tadi?" tanya Radit sembari berjongkok didepanku.

"Gak ada siaran ulang suamiku." kataku sambil berlalu. Malu. Setelah tiga tahun menikah dengannya baru kali ini aku mengatakan cinta padanya.

Cinta. Entah sejak kapan aku mencintainya. Rasa itu tumbuh begitu saja dalam hatiku. Bahkan ingatanku tentang David belum sepenuhnya kembali. Aku masih belum mengingat kenapa aku bisa mencintainya. Aku hanya ingat kami pernah bertemu dulu. Kami bertemu ditengah hujan. Hanya itu. Selebihnya sangat sulit bagiku mengingatnya.

"Dit... Kita kapan ke makam David lagi? Kita kan udah lama gak kesana." tanyaku. Radit tersenyum sembari menggenggam tanganku.

"Lusa ya. Besok aku masih harus mengecek warung di malang sama pasuruan."

"Berarti besok kamu gak dirumah?" tanyaku kesal.

"Besok kamu sama Mala pun gak akan dirumah sayang. Kalian besok ikut akulah. Mana tega aku ninggalin dua bidadariku dirumah."

"Ma... Pa... Om Khai jahat." teriakan Mala menggema di seisi ruang keluarga. Aku dan Radit hanya bisa terkekeh pelan.

"Om Khai kenapa sayang? Kamu diapain memang?" tanyaku sedikit menunduk kala balita berusia 2 tahun itu memeluk kakiku.

"Masak Mainan Mala diambil sama om." kata Mala dengan logat cadel khas balita seusianya.

"Sayang... Om Khai gak jahat kok. Om Khai cuma mau mengingatkan Mala aja kalau sekarang waktunya tidur siang. Iya kan om?" tanyaku pada Khai, adik pertamaku.

"Iya Mala kan harus istirahat. Nanti main lagi. Om nanti akan ngajak Mala ke pasar malam. Mau kan?" tanya Khai pada Mala. Anak itu bersorak senang.

"Mau om mau. Yaudah ayo ayah. Mala mau tidur." kata Mala sembari menarik-narik tangan ayahnya menuju kamarnya.

"Kamu kapan nyampeknya Khai?" tanyaku padanya.

"Baru aja ini tadi mbak. Dari stasiun aku langsung kesini. Kangen sama Mala."

"Ibu sama bapak udah tau kalau kamu pulang?" aku dan Radit memang memutuskan untuk tinggal sendiri setelah kehadiran Mala.

"Udah kok mbak. Tadi aku udah ijin kok. Jadi mbak gak perlu khawatir." katanya sombong.

"Kerjaanmu disana lancar?" tanyaku. Adikku yang satu ini memang telah bekerja di salah satu rumah sakit negeri di surabaya.

"Alhamdulilah lancar mbak. Gimana keadaanmu sekarang mbak?"

"Ya masih seperti yang kamu lihat lah Khai." kataku. Aku masih sama seperti 2 tahun lalu, masih setia dengan kursi rodaku. Dr. Hasbi tak bisa membantu banyak. Ada beberapa sarafku yang masih belum berfungsi.

"Aku punya kenalan dokter saraf yang insyaallah bagus mbak."

"Gak perlu Khai. Mbak sudah sangat bahagia dengan adanya Mala disisi mbak. Udah kamu gak perlu repot-repot." kataku pada Khai. Khai langsung memelukku sayang.

"Ini kenapa peluk-peluk istri orang?" suara itu sangat aku kenal. Dia Radit suamiku.

"Istrimu kakakku juga kali mas." kata Khai tak mau kalah.

"Dia juga kakakku juga kali mas." nah kalau itu sudah pasti di bungsu Kahfi yang saat ini tengah menempuh pendidikan di bandung.

"Ini kenapa pada pulang sih? Gangguin acara keluarga gue aja." kata Radit sewot.

"Ya gantian lah mas. Kan ya mas tiap hari udah sama mereka. Giliran kita lah." kata Kahfi lagi.

"Udah-udah ini kenapa malah ribut sih. Nanti malah yang ada Mala bangun. Udah mending sekarang Khai sama Kahfi istirahat. Jangan sampek ganggu tidurnya Mala. Awas!" kataku mengancam mereka. Aku sudah sangat hafal akal bulus kedua adikku ini.

"Iya-iya mbak. Siap. Kamar kami tetep kan?"

"Pindah ke gudang kamar kalian." kata Radit sensi.

"Yaudah deh mbak kita istirahat dulu. Dari pada ntar dimakan sama suamimu ini." Kata Khai sambil berlalu diikuti Kahfi. Dasar mereka.

"Dulu ibu ngidam apa sih waktu hamil mereka? Heran aku kok bisa Nyebelin banget."

"Haha kamu ini ada-ada aja. Kayak baru kenal mereka aja."

"Untungnya aku gak kenal mereka dari kecil. Bisa darah tinggi kalau aku dari kecil sama mereka."

"Udah ah yang kamu gunjing itu adek-adekku lho."

"Ah lupa kalau aku menikah sama kakak mereka."

"Makasih ya." kataku sembari mencium tangannya

"Untuk apa sayang?"

"Untuk semuanya. Segala kebahagiaan yang kamu berikan untukku dan keluargaku. Bahkan kamu rela menanggung penderitaan bersamaku."

"Aku hanya berusaha menjadi hujan buatmu. Memberikan kehidupan bagi bumi meskipun harus selalu terjatuh. Meskipun aku tak bisa seperti pangeran hujanmu. David."

"Kamu memang bukan David. Kamu Radit Alfansyah Habib. Laki-laki luar biasa yang selalu dan selamanya berharga untukku dan Mala. Kamu suamiku. Terimakasih telah bersedia menjadi hujan untukku. Terimakasih." kataku sembari memelukku.

"Gak ada kata terimakasih diantara suami istri sayang."

Aku mungkin memang terlambat menyadari betapa berharganya dia untukku. Aku mungkin terlambat menyadari bahwa hanya bumi yang selalu membutuhkan hujan. Terimakasih karena telah menjadi hujan di kehidupanku. Setelah ini aku pun akan berusaha menjadi hujan untukmu dan Mala, putri kita. TAMAT

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang