Part 23

1.5K 82 17
                                    

Begitu heboh, isu tentang Aoi dan Shina. Mereka di kabarkan telah berciuman di kamar mandi sekolah. Entah siapa yang menyebarkan, dan mereka tidak keluar dari asrama. Ada juga sebuah video beredar.

Video anak kelas satu bersama kelas tiga. Gara-gara itu peraturan sekarang menjadi ketat. Tiap di luar kamar akan di pasang cctv. Makan malam di percepat jam 7. Harus kembali di kamar jam 8 malam. Sebetulnya akan di pindah kamar ke satu siswa satu kamar tapi banyak yang protes.

"Ribet sekali peraturan di sini"

"Ya lah, banyak siswa nekat seperti itu gimana lagi" ucap salah satu siswa. Eri tidak peduli peraturan ketat dan gosip murahan itu. Dia tidak takut, terserah jam 8 batas siswa keluar namanya Eri tidak pernah takut dalam hal apapun.

"Eri ini jadi ngga ke kolam air hangat"

"Jadilah, yuk. Katanya kau pengin beredam di sana"

"Ya" Fumi baru tahu kalau sekolah ini ada fasilitas kolam air hangat.

Fumi ingin beredam karena menghilangkan stress karena begitu banyak tugas sekolah dan sekalipun rindu di berdam di air hangat, di desa Fumi sering berdam air hangat tapi di kaki gunung dan di sana banyak yang suka di tempat itu.

Letak kolam air hangat ini belakang perpustakaan, banyak yang tidak tahu tempat ini karena bangunannya ketutup oleh perpustakaan.

Begitu sampai mereka masuk ke dalam. Ternyata juga ada yang mengunjungi tapi hanya beberapa siswa.
Eri melepaskan baju seragamnya, Fumi melihat ada urat dan otot yang keluar di punggung Eri dan juga seperti bekas pukulan. Eri menutup tubuhnya yang putih itu. Fumi melepaskan seragamnya dan beruntunglah bekas rotan itu sudah menghilang kalau tidak akan di intrograsi habis-habisan oleh Eri.

Eri melepaskan lilitan handuk di tubuhnya lalu masuk ke dalam kolam, Fumi pun juga begitu. Dia menikmati air di kolam ini. Fumi mencoba keliling di kolam ini, setelah puas ia berada di samping Eri. Fumi memang tidak bisa diam, ia menengelamkan kepalanya kemudian keluar dari permukaan air.
Laura bersama dua temannya masuk ke dalam kolam itu dan mereka melihat Eri dengan pandangan ingin membunuh.

Eri tetap Eri ia malah cuek tak merespon dia. Fumi merasa tidak enak hawanya. Ingin kembali tapi ia masih menikmati pemandian air panas.

"Miskin tetaplah miskin, mereka tak mempunyai harga dirinya" Sindir Laura menatap Fumi menjijikan seakan-akan Fumi itu wabah virus yang akan menyebar.

"Ya begitulah dan kenapa sekolah ini menerima beasiswa apalagi dari kalangan bawah kita haha" sahut temannya yang berkacamata.

"Bukannya sekolah ini untuk kalangan atas ya? Eh Eri tolong usirlah si miskin itu untuk tidak sekolah di sini. Hati-hati loh dia memanfaatkan dirimu haha" ujar teman laura berambut ikal itu.

Fumi hanya bisa menahan dirinya, ia memang miskin tapi bukan berarti penjilat dan memanfaatkan Eri. Selalu saja dia di sebut seperti itu, ia sekolah disini karena kepintarannya. Ia juga sebetulnya tidak mau sekolah ini, tapi karena di paksa oleh ayahnya.

"Setidaknya dia lebih berharga di mataku, dia seperti berlian yang begitu indah begitu sempurna di mataku seperti tak mempunyai kekurangan apapun. Aku tak peduli dia mau di kalangan atas ataupun bawah. Tapi dia tidak seperti kalian yang selalu memamerkan kekayaan. Itu pun dari orang tua kalian kan" Eri membuka bicara, ia dapat merasakan keadaan Fumi sekarang. Ia pun mengenggam tangan Fumi dan mencium di depan mereka.

"Ta..tapi kau lebih pantas mendapatkan yang lebih kaya darinya"

"Kau siapa? Kau tak pantas mengatur kehidupanku. Ayo Fumi" Eri keluar dari kolam itu ia menarik Fumi tapi karena Laura kesal melempar ponselnya ke punggung Fumi. karena kehilangan keseimbangan ia terjatuh di kolam.

Eri menolong Fumi, beruntunglah dirinya. Tak terima Eri menghampiri Laura, ia memojokkan Laura. Ia tatap lekat-lekat.

"Sekali lagi aku melihat kau melukai Fumi, aku jamin kau angkat kaki di sekolah ini dan aku akan menghancur keluargamu. Paham!!" Mereka pun berlari terbirit-birit sampai-sampai Laura terpleset. Fumi tertawa kecil, ia tadi juga mengambil ponsel Laura di dalam kolam itu. Eri menghembuskan nafasnya.

"Bentar ya Fumi, aku masih ingin beredam di sini"

"Iya"

Fumi menaruh ponsel itu di tepi kolam.
"Punggungmu ngga apa-apa kan?"

"Baik kok, malahan kasian layarnya pecah"
"Biarin saja"

"Mungkin benar kata Laura itu"
Eri menarik alisnya sebelah "Maksudmu?"

"Aku memang orang miskin tak tahu diri"

"Terus apalagi?"

"Aku lebih baik ngga kenal denganmu?"

"Terus?"

"Aku capek kalau di bilang numpang tenar dan matrealis kepadamu"

"Terus?"

"Itu aja" Fumi kesal karena Eri menjawab terus saja dari tadi.

Eri memojok tubuh Fumi, ia mengangkat dagu Fumi. "Kau boneka mainanku yang berharga, kau bonekaku yang langkah tapi kau merubah kehidupanku. Aku tidak merasa kau sekejam itu kepadaku.

Kau lebih mengerti tentangku. Aku tak mau kau berfikir seperti itu lagi kepadaku, kita manusia dan sama saja" Eri mencium bibir Fumi, membuat dada mereka saling menempel satu sama lain. Eri mengecup, mata, hidung dan bibir Fumi.

Fumi mendesah karena ciuman dari bibir Eri. Ia memegang kedua bahu Eri memberi tanda kissmark Fumi mencium leher Eri. Ia meremas kedua bahu Eri. Eri menghentikan aksinya ia karena sudah melewati batas. "Kalau mau lebih di kamar saja sayang" goda Eri membuat Fumi menjadi merah wajahnya. Mereka pun keluar dari kolam.

***

Fumi baru selesai mandi ia langsung duduk di sofa melihat TV. Ia melihat Eri masih bermalasan di sofa dan seperti baru selesai menelpon seseorang.

"Eri mandi sana, kau malas sekali kalau hari minggu seperti ini"

"Mandiin ya" goda Eri. Fumi menatap Eri dengan dingin, itu membuat Eri tertawa.

"Dari siapa tuh telpon tadi" Fumi memeluk Eri, ia dapat merasakan bau tubuh Eri tetap harum walaupun belum mandi.

"Dari kakek, nanti kita kesana" Eri membelai rambut Fumi yang masih setengah basah.

"Tapi kakekmu itu kan.."

"Tak usah takut kan ada aku"

"Memang ada urusan apa sih dengan kakekmu?"

"Entahlah, kita lihat saja nantinya" Eri tersenyum mempunyai yang membuat Fumi penasaran.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang