BAB I : YANG HIDUP DAN YANG KECEWA

2.9K 134 12
                                    

Jakarta, Tahun 2115, 19.00 WIB

 

Janggala merasakan seolah tubuhnya terombang-ambing di antara alam sadar dan tidak sadar. Sesekali ia menyaksikan dirinya tengah terbaring di sebuah tempat tidur putih, di lain waktu ia melihat sobat sekaligus rekannya – Anas – berdiri di hadapannya sambil menusukkan pisau ke tubuhnya. Gambaran itu berlangsung berulang kali, antara sadar dan tidak sadar, hingga akhirnya ... .

“Oke, dia sudah bangun,” terdengar seorang pria yang suaranya familier di telinga Janggala.

“Yeah! Sudah waktunya!” balas suara pria lainnya yang suaranya juga Janggala pernah dengar.

Janggala membuka matanya dan melihat dunia sekitarnya masih kabur, masih terpengaruh alam ketidaksadaran, ia menggeleng-gelengkan kepala dan mengerjap-ngerjapkan matanya selama beberapa detik sebelum semuanya tampak jelas.

“Halo Pangeran Tidur, selamat datang kembali di dunia. Mohon maaf tidak ada putri cantik yang mau mencium anda untuk mengembalikan kesadaran anda.”

“Kau!” mata Janggala melotot begitu menyadari siapa yang hadir di sampingnya sedari tadi, Riyadi, “Si Prajurit TNI Bersisik Sialan yang menyanjung-nyanjung filosofi absurd Komando Satu Rasa!”

“Wow, julukan untukmu panjang juga ya, Mas,” sahut Markus yang berdiri dengan bersandar di dinding sambil tersenyum geli.

“Dan kenapa Si Pencoleng Berlencana harus hadir pula?!” pekik Janggala histeris, berusaha melepaskan diri tapi tangan dan kakinya dibelenggu erat pada tempat tidur. Markus langsung melongo mendengar kata-kata Janggala. Ia sempat bertaruh pada Riyadi bahwa Janggala tidak akan ingat siapa dirinya dan identitas dirinya yang seorang polisi, ternyata ia salah. Ingatan Janggala ternyata sangat tajam.

“Oke Markus, kamu kalah. Sini, satu pak rokok,” Riyadi memberi isyarat pada Markus untuk melempar pak rokok yang ada di tangannya.

“Daya ingatnya masih bagus ternyata, tadinya kuharap dia kena amnesia,” Markus melempar pak rokok berwarna abu-abu itu ke arah Riyadi – yang segera menangkapnya dan memasukkan ke dalam saku jaketnya.

“Perlukah saya beri dia obat penenang?” seorang wanita berpakaian dokter tampak memandang ngeri ke arah Janggala.

“Tidak usah,” ada pria lain yang menjawab pertanyaan dokter wanita itu, seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah mulai beruban dan berkulit gelap – meski tidak sehitam Markus ataupun Riyadi. Ada aroma minyak wangi tradisional tercium dari tubuh pria tersebut. Aromanya kuat dan menimbulkan sensasi aneh dalam diri Janggala. Tiba-tiba saja pemuda itu merasakan sebuah ketenangan yang luar biasa, seolah-olah ia tengah diberi obat penenang dosis rendah sehingga kesadarannya tidak hilang.

“Aji Ranta Janggala, itu namamu kan?” si pria beruban itu mulai mengajukan pertanyaan.

“Apa urusanmu pada namaku, Pak Tua?” Janggala berusaha melawan dorongan aneh dalam dirinya untuk menjawab pertanyaan pria itu.

Sang Awatara II : Anak-Anak ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang