BAB V : PANGGILAN

1.8K 120 5
                                    

Indonesia sejati belum muncul dari tenggelamnya yang berabad-abad.

-Tan Malaka, Madilog-

 

Surakarta, 12.00 WIB

 

Pidato Presiden tadi kontan membuat kepala sekolah Mahesa langsung memutuskan untuk memulangkan seluruh siswanya lebih awal. Kegiatan sekolah dan ekstrakurikuler diliburkan total sampai seminggu. Keputusan itu diambil setelah kepala sekolah menerima edaran dari Dinas Pendidikan yang menyatakan ada ancaman dari Laskar Pralaya untuk melakukan teror bom di seluruh sekolah di Jawa Tengah.

Sebetulnya Mahesa pikir ini kesempatan bagus untuk bicara lebih banyak dengan Ratih, tapi naas sekumpulan pengawal bertampang seram tiba-tiba saja sudah menjemput Ratih pulang dari sekolahnya sebelum Mahesa sempat bicara dengannya lalu membawa Ratih pulang dengan tergesa-gesa.

“Gagal Hes?” Herlambang yang tengah mendorong sepeda jingganya menanyai Mahesa.

“Iya, orang-orang bapaknya sudah ngerebut dia duluan tuh.”

“Sabar Hes. Kirimi saja pesan via jejaring sosial.”

“Apa dia bakal jawab?”

“Kok kamu pesimis banget sih Hes? Bakal jawab kok!”

“Bapaknya nggak bakal bunuh aku gara-gara aku kirim pesan ke putrinya kan?”

Herlambang ngakak, “Duh Hes, bapaknya Ratih itu meski pengusaha dan masuk lingkar Kesunanan Surakarta bukan orang seperti itu. Aku saja pernah ketemu orangnya. Dia santai kok.”

“Tapi kok pengawalnya serem-serem?”

Herlambang langsung merangkul Mahesa, “Gini deh. Kalau kamu diundang Ratih ke rumahnya dan kamu nggak berani ke sana sendirian, ajak aku saja. Oke?”

“Ah nggak ah.”

“Lho kenapa?”

“Teman-teman OSIS bilang kalau kamu ke rumah Ratih, dua toples kue kamu habisin sendirian. Malu-maluin ah.”

“Yeee, rejeki nggak boleh ditolak Hes.”

“Itu sih bukannya nolak rejeki, Mbang, itu namanya rakus!”

Herlambang hanya tertawa keras-keras mendengar kata-kata Mahesa.

*****

 

Ketika sudah sampai di pekarangan tempat tinggalnya, Mahesa segera mengembalikan sepeda sewaannya ke garasi langsung cepat-cepat naik ke lantai atas tempat kamar tinggalnya. Di sana ia langsung melempar tasnya lalu cepat-cepat mengaktifkan personal terminal, biasa disebut personal saja, – sebuah benda yang di awal abad 21 mungkin dikenal sebagai pc tablet namun di masa kini kemampuannya setara komputer pribadi – miliknya di kamar, menunggu sesuatu yang muncul di layarnya dengan harap-harap cemas.

Sang Awatara II : Anak-Anak ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang