BAB XIV : PENERAWANG

1.2K 98 5
                                    

Markas Dakara, Jakarta, 22.00 WIB

Janggala merasa seluruh tulangnya seperti dilolosi. Seharian ini ia disuruh oleh kolonel gila bernama Syailendra itu untuk belajar menembak. Mulanya dia pikir itu hanya menembak dengan pistol atau senapan ringan yang sudah dia kuasai, tapi ternyata kolonel sinting itu menyuruhnya belajar menembak senapan serbu yang amunisi magasinnya mencapai 400 butir peluru. Bobotnya sih boleh dibilang lumayan ringan, cuma 3 kilogram, tapi hentakan senjata itu sangat kuat sehingga membuat tangan kanannya terhantam pelatuk senapan itu berkali-kali sampai lecet-lecet, tidak, berdarah-darah malah.

“Boleh saya ambil kotak P3K dulu?” begitu ia tadi bertanya pada si kolonel yang hanya tersenyum simpul saat menyaksikan tangannya berdarah-darah.

“Nanti malam saja,” begitu jawab si kolonel di ruang simulasi tadi.

“He?”

“Ini simulasi Janggala. Simulasi kehidupan para prajurit yang harus bertahan hidup di medan perang. Di medan perang, luka segitu masih ringan. Diobati saja waktu malam tiba atau saat waktu istirahat tiba.”

“Tapi luka ini ... ,” Janggala memprotes.

“Biarkan saja sampai malam. Nggak bakal kena tetanus juga kok.”

Jadi kolonel gila itu terus memaksa Janggala menembak sasaran dari pukul 10 pagi sampai pukul 10 malam. Dan kolonel itupun masih tega memberikan nilai D atas kemampuan menembaknya.

“Tiga ratus sasaran, yang kena cuma seratus dua. Kamu belum lulus. Besok, coba lagi!” begitu katanya sebelum meninggalkan ruangan simulasi tempat Janggala berlatih.

“Kolonel sialan!” Janggala mengumpat sesaat sebelum akhirnya mengoleskan obat luka di tangan kanannya yang berdarah-darah. Tapi tanpa disadari Janggala, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Refleks Janggala yang selama bertahun-tahun hidup di dunia hitam mengajarkannya untuk langsung bereaksi setiap kali ada orang tak dikenal menyentuh dirinya. Tepukan itu bukan milik Si Ambon Manise Bersaudara – Markus dan Riyadi, ataupun si kolonel. Tepukan itu milik orang lain. Janggala bereaksi berlebihan dengan mencengkeram leher orang yang menepuknya itu sebelum menemukan bahwa ternyata itu hanya anak remaja yang mereka selamatkan di Medan tempo hari.

“Aaa,” remaja itu tampak kaget karena lehernya dicengkeram seperti itu.

“Ah, maaf Mandala,” Janggala tampak menyesal karena sudah bereaksi berlebihan. Dalam hati ia merasa bodoh. Tak ada satupun yang bakal melukainya di sini, di sini relatif aman dibandingkan dunia luar sana. Sekarang ia baru saja membuat anak remaja peranakan Tionghoa ini ketakutan setengah mati.

“Kenapa Mandala?” tanya Janggala lagi, suaranya sengaja ia rendahkan.

Mandala menyodorkan sepiring nasi kuning yang sedari tadi dia pegang. Tatanan lauknya agak berantakan, mungkin karena guncangan yang ia terima dari Janggala tadi.

“Kamu bawakan ini buat saya?” tanya Janggala.

Sang Awatara II : Anak-Anak ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang