Surakarta, 17.00 WIB
Sebuah bus berwarna putih dengan pola bendera merah putih di sisi kanan dan kirinya berhenti di sebuah kompleks rumah susun yang dindingnya bercat dominan hijau muda. Mahesa tampak turun dari bus tersebut sembari menenteng sebuah ransel, sementara piala miliknya masih dibawa oleh pelatihnya, Pak Imron, untuk diserahkan pada sekolah saat upacara bendera minggu depan.
Ada seorang pria muda tampak tengah mendandani sebuah motor di sebuah bengkel yang ada dalam kompleks itu, pria itu berambut spike dan hanya mengenakan celana pendek hitam serta kaus singlet mengangkat tangannya, menyapa Mahesa, “Hei Mahesa! Gimana hasil pertandingannya?”
“Lumayan Mas,” jawab Mahesa datar, “juara tiga.”
“Wohohoho!! Uapik tenan – bagus sekali!” pria itu mengacungkan dua jempolnya, “Lanjutkan!”
“Matur nuwun – terima kasih, Mas. Saya naik dulu ya?”
“Monggo, monggo!” si pria muda itu sembari kembali mengutak-atik mesin motor di hadapannya.
Mahesa masuk ke sebuah lift yang dindingnya berlapis kertas dinding bermotif burung-burung bangau yang sudah mengelupas di sana-sini. Mahesa menekan tombol bernomor ‘7’ dan lift itu segera naik dengan menimbulkan sedikit suara decit menuju lantai tujuh.
Terdengar suara denting bel ketika lift itu telah mencapai lantai tujuh, Mahesa beranjak keluar dari lift dan dia kini berada di sebuah persimpangan lorong, satu menuju ke utara dan satu menuju ke selatan. Mahesa mengambil jalur utara dan berhenti melangkah setelah melewati tiga kamar, berhenti di sebuah kamar bernomor 714. Mahesa mendekatkan telapak tangannya pada sebuah panel di dpintu dan pintu kamar itu pun terbuka di hadapannya.
Ada suara salakan anjing di dalam kamar itu selagi Mahesa menyalakan lampu-lampunya. Begitu lampu-lampunya telah menyala tampaklah sesosok anjing berbadan metal berdiri di hadapan Mahesa. Anjing robot itu duduk dekat kaki Mahesa sembari menjulurkan lidahnya – layaknya anjing asli.
“Halo, Igor,” Mahesa menepuk-nepuk kepala robot anjing itu, terdengar suara metal beradu dengan metal ketika ia melakukannya. Robot anjing itu kemudian berlari ke arah beranda sembari menolehkan kepalanya ke arah matahari yang sudah mulai terbenam.
“Iya, iya, aku tahu kok,” Mahesa paham apa maksud robot anjingnya itu. Ibunya sudah memprogram robot itu untuk mengingatkan Mahesa setiap kali matahari akan terbit atau akan tenggelam selagi Mahesa ada di rumah supaya pemuda itu tidak lupa sembahyang.
Mahesa melepaskan jaket atletnya, celana panjangnya, kemudian kausnya sebelum masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, ia muncul tiga menit kemudian dengan sebuah handuk melingkar di pingangnya dan masuk ke dalam sebuah kamar untuk mengambil satu setel pakaian santai dan mengenakannya.
“Guk!” robot anjing itu kembali menyalak dan Mahesa buru-buru mengambil sebuah canang (wadah yang dibuat dari janur – daun kelapa) berisi sedikit bunga mawar, melati, kenanga, dan kantil, dari tempat penyimpanan lalu menarik keluar dua buah hio[1] dari sebungkus plastik dan menyulutnya lalu berjalan ke arah sebuah altar palinggih yang ada di beranda, menancapkan hio itu pada sebuah ceruk kecil dan meletakkan canang yang ia pegang di samping hio tersebut kemudian memposisikan tangannya di depan dahi. Mahesa mulai merapalkan mantram doa, bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib di kota itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...