“Debu tanah lebih terhormat daripada manusia.”
– Kahlil Gibran –
Bandara Soekarno-Hatta, Megapolitan DKI Jakarta[1], 16.00 WIB
Ketika Markus tiba di bandara Soekarno Hatta, tampak sudah ada kerumunan wartawan berdiri di seputaran gerbang kedatangan penumpang. Tampaknya seorang pejabat penting akan datang dari luar negeri dan pejabat itu tampaknya berkaitan erat dengan insiden di Vancouver baru-baru ini.
Markus bergegas menuju boarding room – ruang tunggu, membayar airport tax, sebelum petugas mengatakan bahwa ia harus menunggu dua jam lagi sebelum pesawatnya tiba. Mata polisi itu segera mencari-cari tempat makan dan ketika ia sudah menemukannya ia bergegas memasuki salah satunya dan memesan nasi goreng, dua porsi, karena ia betul-betul kelaparan.
Ketika menunggu pesanannya, seorang wanita tanpa diundang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi yang ada di hadapannya, tanpa permisi, dan tanpa suara. Markus pun tak menyadari kehadiran wanita itu sampai wanita itu sudah berada di hadapannya.
“Selamat sore Inspektur,” sapa wanita itu.
“Siapa anda?” Markus menekan satu tombol pada arlojinya dan sebuah gelembung digital transparan – yang biasa digunakan untuk membatasi percakapan pribadi sehingga suara orang-orang dalam gelembung itu takkan terdengar oleh orang lain – berdiameter tiga meter terbentuk mengelilingi Markus dan wanita itu, “Setahu saya perwira pengawas[2] saya bukanlah anda.”
“Memang bukan Inspektur, saya hanyalah warga sipil yang merelakan diri untuk membantu Dakara.”
“Membantu Dakara? Mengetahui kami ada saja sudah bukan pengetahuan lazim bagi warga sipil. Siapa anda?”
“Saya bekerja pada seorang informan Dakara dan saya kemari punya tujuan yang sama dengan anda, Inspektur. Putra majikan saya ada di sana dan saya ditugaskan untuk mengawalnya kembali dengan selamat.”
“Itu bisa aku lakukan sendiri.”
“Anggaplah saya sebagai pembantu anda jika anda perlu laksanakan rencana B.”
“Saya tidak mendapat perintah soal rencana B, lagipula ... misi ini sangat berbahaya, Non. Saya tak bisa menjamin keselamatan anda.”
“Anda tak perlu menjamin keselamatan saya, Inspektur. Saya bisa menjaga diri saya sendiri, dan soal kekuatan ... saya rasa saya pun tidak akan kalah dengan anda.”
Dua porsi nasi goreng yang Markus pesan tiba dan mereka berdua pun segera menghentikan perbincangan mereka. Wanita itu lalu memesan segelas es teh lemon untuk dirinya. Markus sendiri sejak kedatangan wanita itu tiba-tiba merasa tidak terlalu lapar. Kata-kata wanita itu yang begitu percaya diri seolah membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu dari kehidupannya yang lampau, tapi dia tak dapat mengingat apa itu.
“Anda mau makan ini?” Markus menawarkan satu porsi nasi gorengnya kepada wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...